
SEJAK tiga dekade lalu, jejak manusia di permukaan Bumi semakin mencolok. Pertanian, jalan raya, hingga ekspansi kota telah mengubah wajah planet ini. Sebuah studi terbaru memberikan gambaran lebih rinci tentang seberapa dalam transformasi ini terjadi—dan dampaknya terhadap ekosistem global.
Dipublikasikan di jurnal Scientific Data pada April 2025, riset ini adalah hasil kolaborasi antara Colorado State University dan The Nature Conservancy. Mereka menyajikan peta tekanan antropogenik paling mutakhir yang pernah ada: potret tekanan manusia terhadap daratan pada skala resolusi sangat detail, yaitu 90 dan 300 meter.
Metodologi yang digunakan, Human Modification Framework, memungkinkan para peneliti mengukur dampak manusia melalui 16 bentuk tekanan berbeda. Termasuk di dalamnya adalah pertanian, infrastruktur, energi, dan polusi.
Hasil yang Mengejutkan
Pada 2022, hanya 43 persen daratan dunia yang masih tergolong alami. Selebihnya? Sekitar 31 juta kilometer persegi telah berubah secara signifikan sejak 1990. Pertanian mendominasi—menyumbang 47 persen dari total lahan yang dimodifikasi. Sisanya dipicu oleh transportasi, akses manusia, dan pembangunan urban.
Transformasi ini tidak merata. Wilayah Indomalaya—yang mencakup Asia Selatan dan Tenggara, termasuk Indonesia—menunjukkan tingkat modifikasi tertinggi. Faktor utamanya adalah kepadatan penduduk, pertanian intensif, dan urbanisasi yang masif.
Sebaliknya, Australasia relatif stabil. Wilayah ini mengalami tekanan manusia terendah dibanding kawasan lain.

Tekanan yang Terus Meningkat
Tak hanya menyebar, tekanan manusia juga terus meningkat. Sejak 1990, skor modifikasi lahan global melonjak sekitar 57 persen setiap tahun. Kawasan urban berkembang paling cepat—lebih dari 4 persen per tahun.
Studi ini juga mengungkap bahwa 29 persen negara dan 31 persen tipe ekosistem kini masuk kategori “sangat rentan”. Di wilayah-wilayah ini, tekanan meningkat lebih cepat dari rata-rata global, tetapi perlindungannya masih minim. Hanya kurang dari 30 persen lahan yang berada dalam kawasan konservasi seperti taman nasional atau cagar alam.
Lebih buruk lagi, hampir setiap area terdampak mengalami kombinasi tiga jenis tekanan atau lebih. Ini menandakan bahwa pendekatan konservasi tidak bisa lagi bekerja secara sektoral. Solusi harus bersifat sistemik dan lintas sektor.
Peta sebagai Alat Perubahan
Peta yang dihasilkan studi ini bukan sekadar visualisasi ilmiah. Ia menjadi alat advokasi. Praktisi, perencana wilayah, dan pembuat kebijakan bisa menggunakannya untuk merancang strategi keberlanjutan berbasis data.
Bagi Indonesia, temuan ini menjadi peringatan keras. Kita adalah bagian dari kawasan dengan tekanan manusia tertinggi. Namun di sisi lain, kita juga menyimpan salah satu kekayaan hayati terbesar dunia.
Menjawab Tantangan dengan Kebijakan
Perencanaan tata ruang, restorasi ekosistem, dan perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi harus segera ditingkatkan. Kebijakan tidak cukup hanya berbasis ekonomi, tetapi harus memadukan prinsip ekologi dan keadilan sosial.
Kondisi ini juga menuntut pendekatan kolaboratif. Pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan komunitas lokal harus duduk bersama. Tujuannya jelas: menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.