Skandal Suap CPO, Tiga Hakim Terjerat Jebakan Vonis Lepas

Petugas memakaikan rompi tahanan kepada salah satu dari tiga hakim yang ditetapkan sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan suap vonis lepas perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO), di Kejaksaan Agung, Senin (14/4/2025) dini hari. Foto: Dok. Kejaksaan Agung

JAKARTA, mulamula.id Tiga hakim resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait vonis lepas (onslag) perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) periode 2021–2022. Kejaksaan Agung mengumumkan penetapan ini setelah memeriksa tujuh saksi kunci yang mengungkap pola pengaturan putusan di balik meja sidang.

Ketiga hakim tersebut adalah Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom. Mereka merupakan majelis yang mengadili perkara korporasi minyak goreng raksasa—Wilmar, Permata Hijau, dan Musim Mas—yang akhirnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag van alle rechtvervolging.

Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, para hakim diduga kuat menerima aliran dana besar dalam bentuk dolar AS demi mengarahkan putusan sesuai skenario. “Penerimaan uang ini tidak lepas dari peran beberapa pihak yang telah lebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Qohar dalam konferensi pers, Senin (14/4/2025) dini hari.

Video: Youtube/ @kejaksaan-ri.
Jalur Uang dan Jaringan Suap

Skema suap berawal dari permintaan kuasa hukum korporasi, Ariyanto, kepada panitera muda Wahyu Gunawan. Tujuannya jelas: mengatur vonis agar kliennya lepas dari jerat hukum. Wahyu lalu menyampaikan permintaan tersebut kepada Wakil Ketua PN Jakarta Pusat kala itu, Muhammad Arif Nuryanta.

Baca juga: Suap Ekspor CPO, Ketua PN Jaksel Terjerat Gratifikasi Rp 60 Miliar

Arif meminta agar dana suap dinaikkan dari Rp 20 miliar menjadi Rp 60 miliar. Dana tersebut diserahkan secara bertahap dalam bentuk mata uang asing, yang kemudian dibagi ke pihak-pihak terkait, termasuk tiga hakim yang akhirnya mengadili perkara tersebut.

Uang senilai Rp 18 miliar dibagi sebagai berikut: Djuyamto menerima Rp 6 miliar, Agam Syarif sebesar Rp 4,5 miliar, dan Ali Muhtarom sebesar Rp 5 miliar. Mereka disebut mengetahui maksud dari pemberian uang tersebut: mengeluarkan vonis lepas untuk tiga perusahaan yang didakwa merugikan negara hingga Rp 12,3 triliun.

Vonis Lepas, Publik Dirugikan

Vonis lepas terhadap tiga grup besar pengusaha sawit itu menimbulkan pertanyaan tajam di tengah masyarakat. Bagaimana perusahaan yang disebut menyebabkan kerugian negara triliunan rupiah bisa lolos dari jerat pidana?

Jaksa Penuntut Umum (JPU) sejatinya menuntut Wilmar Group membayar uang pengganti lebih dari Rp 11 triliun. Namun dalam putusan akhir, korporasi tidak dijatuhi pidana karena dianggap tidak melakukan tindak pidana secara hukum.

Total Tujuh Tersangka

Dengan penetapan tiga hakim ini, total sudah tujuh orang dijerat dalam kasus ini. Sebelumnya, Kejagung lebih dulu menetapkan Arif Nuryanta, dua pengacara, dan panitera Wahyu Gunawan sebagai tersangka.

Tak hanya uang tunai, penyidik juga menyita aset mewah seperti tujuh mobil, 21 sepeda motor, dan tujuh sepeda mahal. Ini menjadi sinyal bahwa korupsi tidak hanya menyasar birokrat dan politisi, tapi juga telah menggerogoti institusi peradilan.

Baca juga: Kejagung Sita Mobil Mewah Terkait Kasus Suap Ekspor CPO

Menguji Integritas Lembaga Yudikatif

Kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia peradilan. Di saat publik menaruh harapan pada proses hukum yang adil, justru muncul fakta pengaturan putusan oleh oknum di balik toga hakim.

Kini, semua mata tertuju pada bagaimana Kejagung akan melanjutkan penyidikan, dan sejauh mana sistem pengawasan Mahkamah Agung akan berbenah. Kasus ini bukan sekadar soal suap, tapi soal kepercayaan publik pada hukum. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *