Follower Banyak, Teman Sedikit: Kontradiksi Sosial di Dunia Digital

Ribuan pengikut di media sosial bukan jaminan bebas dari rasa sepi. Hubungan digital tak selalu berarti koneksi emosional. Foto: Ilustrasi/ Sanket Mishra/ Pexels.

DI ERA digital, memiliki ribuan pengikut di media sosial bukan hal luar biasa. Tapi di balik angka yang mengesankan itu, banyak orang justru merasa sepi. Fenomena ini bukan sekadar perasaan. Riset menunjukkan bahwa koneksi digital yang melimpah tak selalu sejalan dengan kedekatan emosional di dunia nyata.

Menurut laporan American Journal of Health Promotion (2021), penggunaan media sosial secara intens bisa meningkatkan rasa kesepian, terutama jika hubungan yang terbangun bersifat permukaan dan minim interaksi bermakna. Semakin sering membandingkan diri dengan kehidupan orang lain, semakin rentan seseorang terhadap perasaan tidak puas dan terasing.

Baca juga: Mejeng Sekejap, Klaim Seolah Akrab: Wajah Lain Media Sosial

Terhubung tapi Kesepian

Di media sosial, pertemanan bisa semudah satu klik. Namun dalam kenyataan, membangun hubungan yang tulus butuh waktu, empati, dan kehadiran nyata—hal-hal yang sulit ditranslasikan lewat like atau emoji.

Baca juga: Australia Larang Remaja di Bawah 16 Tahun Akses Media Sosial

Psikolog klinis Sherry Turkle, dalam bukunya Reclaiming Conversation, menyebut fenomena ini sebagai “connected but alone.” Kita saling terhubung, tetapi jarang benar-benar hadir. Percakapan mendalam digantikan oleh komentar singkat, dan interaksi langsung tergeser oleh notifikasi.

Validasi Diri dalam Jumlah Likes

Banyak orang kini mengandalkan media sosial sebagai sumber validasi diri. Setiap unggahan menjadi ajang pembuktian—bahwa hidup mereka seru, produktif, atau menyenangkan. Tapi di balik layar, rasa kosong justru makin kuat, terutama ketika perhatian digital tak juga memberi kehangatan emosional yang dibutuhkan.

Baca juga: Impresi vs Like: Kunci Memahami Kinerja Konten di Media Sosial

Kondisi ini bukan hanya dialami individu biasa. Selebritas, influencer, bahkan tokoh publik pun mengakui bahwa popularitas digital sering kali tak sebanding dengan dukungan emosional nyata.

Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, relasi nyata tetap jadi sandaran paling tulus. Foto: Ilustrasi/ Marcus Aurelius/ Pexels.
Relasi Nyata Tetap Tak Tergantikan

Lantas, apa yang bisa dilakukan? Mengurangi waktu di media sosial mungkin bisa membantu. Namun yang lebih penting adalah membangun relasi yang nyata, meski hanya dengan satu atau dua orang. Koneksi dalam jumlah kecil tapi tulus, lebih berarti dari sekadar ratusan interaksi yang dangkal.

Baca juga: Mengungkap Fenomena “Kebahagiaan Palsu” di Media Sosial

Media sosial memang bisa memudahkan komunikasi, tapi kualitas hubungan tetap bergantung pada kedalaman interaksi. Di tengah dunia yang serba cepat dan serba tampil, menemukan teman sejati adalah sebuah keberuntungan yang tak bisa ditakar oleh jumlah follower. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *