
DI BALIK piring nasi yang kita nikmati setiap hari, ada persoalan besar yang mengendap diam-diam di balik tanah: logam berat. Sebuah studi global terbaru membunyikan alarm. Negara-negara penghasil beras terbesar dunia ternyata sedang duduk di atas bom waktu pencemaran lingkungan.
Penelitian yang dipimpin oleh Profesor Hou Deyi dari Sekolah Lingkungan Hidup Universitas Tsinghua, China, mengungkap bahwa sekitar 1,4 miliar orang di dunia kini terpapar risiko akibat kontaminasi logam berat di tanah pertanian. Temuan ini dipublikasikan di jurnal bergengsi Science dan menjadi pukulan telak bagi sektor pertanian global.
Yang paling terdampak? Asia Selatan dan Asia Tenggara. India, Pakistan, Bangladesh, China Selatan, Thailand, hingga Kamboja tercatat memiliki kadar kadmium—zat logam berat beracun—di atas batas aman. Sebagian besar dari wilayah ini adalah jantung produksi beras dunia.
Kadmium, Racun di Tanah Subur
Kadmium bukan logam biasa. Ia bersifat karsinogenik, dapat memicu kanker, merusak ginjal, mengganggu sistem pernapasan, serta melemahkan struktur tulang. Yang lebih buruk, zat ini bisa bertahan di tanah selama puluhan tahun, dan menyusup masuk ke tanaman pangan seperti beras. Tanpa disadari, zat ini bisa sampai ke piring makan kita.
Baca juga: Mikroplastik Bikin Panen Asia Anjlok, 400 Juta Orang Terancam Lapar
Penelitian menyebutkan, 9% lahan pertanian global kini tercemar kadmium, menjadikannya jenis logam berat paling umum mencemari tanah. Di bawahnya ada nikel (5,8%) dan kromium (3,2%).
Beras Dunia Tumbuh di Lahan Beracun?
Negara-negara yang terpapar parah justru adalah eksportir dan konsumen beras terbesar. India misalnya, diperkirakan akan mengekspor 22 juta ton beras pada tahun 2024/2025. Thailand menyusul di posisi kedua dengan 7,5 juta ton. Di sisi lain, China dan Bangladesh adalah konsumen utama dengan konsumsi domestik ratusan juta ton.
Artinya, sebagian besar pasokan beras dunia berasal dari wilayah yang terindikasi tercemar. Vietnam menjadi pengecualian, dengan tingkat pencemaran relatif rendah.

Pemetaan Global dan Bukti Nyata
Untuk menghasilkan gambaran akurat, tim Hou menganalisis 796.084 sampel tanah dari 91 negara, menggunakan data dari 1.493 studi terdahulu. Mereka mengembangkan algoritma khusus bernama Extremely Randomised Trees untuk memetakan tingkat kontaminasi berdasarkan iklim, geologi, topografi, dan faktor sosial-ekonomi.
Hasilnya mengejutkan: sekitar 14–17% lahan pertanian global melebihi batas aman logam berat, berdasarkan standar nasional paling ketat.
Baca juga: Pangan Dunia Tersandera 9 Tanaman, Alarm Bahaya dari FAO
Hou menjelaskan, pencemaran ini tidak lepas dari jejak peradaban manusia. Industri metalurgi, yang telah eksis sejak zaman perunggu, disebut sebagai sumber kontaminasi paling awal. Banyak wilayah terdampak berat ternyata beririsan dengan lokasi peradaban kuno, mulai dari Eropa Selatan, Timur Tengah, hingga Asia Selatan.
Dampak Sistemik dan Peringatan Dini
Pencemaran tanah tidak hanya soal kualitas pangan, tapi juga soal keadilan ekologis dan sosial. Petani, yang seharusnya menjadi garda terdepan ketahanan pangan, justru menjadi kelompok yang paling rentan. Mereka menanam di atas tanah yang diam-diam menyimpan ancaman kesehatan.
Baca juga: Pangan Berkelanjutan Selamatkan 300 Juta Jiwa dari Malnutrisi
Menurut Hou, temuan ini harus menjadi panggilan darurat bagi para pembuat kebijakan. “Kita perlu sistem peringatan dini, pemantauan ketat, serta intervensi segera untuk melindungi tanah, pangan, dan manusia,” ujarnya.
Masalah pencemaran logam berat juga menjadi isu keberlanjutan yang kompleks. Tidak cukup hanya dengan solusi teknis, perlu pendekatan multipihak yang melibatkan pemerintah, komunitas ilmiah, sektor swasta, dan petani itu sendiri.
Jangan Pandang Enteng
Indonesia, sebagai salah satu negara agraris dan konsumen beras terbesar, tak bisa memandang enteng persoalan ini. Meski tidak disebut sebagai negara dengan tingkat pencemaran tertinggi, posisi geografis dan pola pertanian intensif membuat Indonesia masuk dalam radar risiko.
Baca juga: Krisis Lahan Sawah, Bisakah Indonesia Bertahan dengan Produksi Beras Lokal?
Momentum ini dapat dimanfaatkan untuk membangun sistem pertanian yang lebih regeneratif, sehat, dan transparan. Saat dunia mulai menyadari pentingnya keberlanjutan, ketahanan pangan tak bisa lagi dipisahkan dari kesehatan tanah.
Piring nasi kita hari ini ditentukan oleh apa yang tersembunyi di dalam tanah. Saatnya menggali lebih dalam, sebelum semuanya terlambat. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.