Bali Larang Air Kemasan, tapi Bungkam Soal Sampah Sachet

Kemasan sachet yang sulit didaur ulang masih banyak ditemukan di lingkungan. Para aktivis menilai, jenis limbah ini luput dari perhatian kebijakan pengurangan sampah plastik sekali pakai di Bali. Foto: Ilustrasi/ Tom Fkisk/ Pexels.

LARANGAN air minum kemasan plastik di bawah satu liter yang diteken Gubernur Bali I Wayan Koster menuai sorotan. Pasalnya, dalam Surat Edaran (SE) No. 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah, tak satu pun pasal menyentuh soal larangan kemasan sachet—padahal jenis ini justru paling sulit didaur ulang.

Aktivis lingkungan menyebut kebijakan itu diskriminatif.

Sachet: Kecil, Murah, Tapi Mengancam

Koordinator Program Sensus Sampah Plastik BRUIN, Muhammad Kholid Basyaiban, menyebut kemasan sachet adalah residu plastik yang hampir mustahil didaur ulang.

“Sumbernya dari rumah tangga—sabun cuci, makanan, minuman. Karena murah, masyarakat banyak pakai. Tapi pasca-konsumsi, tak bisa dikelola,” kata Kholid, Senin (21/4/2025).

Menurutnya, sachet bukan sekadar limbah biasa. Sampah ini sulit dideteksi karena bisa tenggelam di dasar aliran sungai. Bahkan, pemulung pun enggan memungutnya karena tak punya nilai jual.

Ketimpangan Regulasi

Kholid menyayangkan SE Gubernur Bali yang justru menargetkan air minum kemasan kecil—yang punya nilai daur ulang tinggi dan mudah dikelola.

“Larangan terhadap produk bernilai ekonomis, tapi membiarkan sachet yang jelas-jelas problematik. Ini kebijakan yang timpang,” ujarnya.

Baca juga: Perang Bali Lawan Plastik Dimulai dari Botol

Audit sampah BRUIN pada April 2024 membuktikan dominasi sachet di antara jenis sampah plastik di Bali. Di sisi lain, produk seperti botol air plastik justru cenderung terkelola oleh sektor informal.

Produsen Juga Patut Disorot

Koordinator Audit Merek Ecoton, Alaika Rahmatullah, menilai produsen sachet besar memainkan peran penting dalam krisis ini.

“Mereka ciptakan ilusi kepraktisan, tapi abaikan dampak lingkungan. Padahal, tanggung jawab seharusnya tak berhenti di titik penjualan,” kata Alaika.

Baca juga: Dampak Plastik, Studi Ungkap Ratusan Ribu Kematian per Tahun

Ia menegaskan, tidak boleh ada “pilih kasih” dalam menanggulangi plastik sekali pakai. Semua jenis harus ditangani secara setara, termasuk sachet.

Temuan Sungai Watch dan Bukti Dominasi Sachet

Data dari Sungai Watch dalam Impact Report 2024 turut memperkuat kritik. Dari ribuan item sampah yang dijaring di sungai-sungai Bali dan Banyuwangi, 5,5% adalah sachet. Sementara air minum kemasan hanya menyumbang 4,4%.

“Lebih dari 91 ribu sachet kami temukan. Tapi Gubernur malah diam soal itu dalam kebijakan resminya,” ucap Kholid.

Baca juga: Produsen Plastik Wajib Tanggung Jawab, Akhir Era Sampah Sekali Pakai?

Ninditha Proboretno dari Nexus3 Foundation menambahkan, audit tahun 2019 membuktikan bahwa produsen besar terus menyumbang sachet dalam jumlah masif tiap tahun.

“Kalau mau serius mengurangi plastik, sachet juga harus dilarang. Tak bisa terurai, tak bisa didaur ulang, dan tak ada nilai ekonomis,” tegasnya.

Para pemerhati lingkungan sepakat: Pemprov Bali perlu memperluas ruang lingkup kebijakannya. Tanpa menyasar sachet, mimpi menjadikan Bali bersih dari sampah plastik hanya akan jadi slogan kosong. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *