
Oleh: Hamdani S Rukiah, SH, MH *
PENETAPAN tersangka terhadap Tian Bahtiar, direktur pemberitaan Jak TV, oleh Kejaksaan Agung menandai babak baru dalam perdebatan antara kebebasan pers dan penyalahgunaan kerja jurnalistik. Dalam perkara yang berkaitan dengan kampanye negatif terhadap penyidik Kejaksaan, Tian disebut menerima uang ratusan juta rupiah untuk menyebarkan narasi tertentu melalui berita, demonstrasi, hingga podcast.
Ia pun dijerat Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, meski sudah ada penetapan tersangka, penting untuk diingat bahwa ini adalah bagian dari proses hukum yang harus dibuktikan di pengadilan. Oleh karena itu, setiap pihak berhak mendapatkan pembelaan hukum.
Tapi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan obstruction of justice? Dan bagaimana kita menilai batas etika ketika jurnalisme berpotensi berubah menjadi alat propaganda pesanan?
Obstruction of Justice, Memahami Unsur dan Ancamannya
Obstruction of justice atau perintangan terhadap proses hukum adalah istilah hukum yang mengacu pada segala tindakan yang dengan sengaja dilakukan untuk menghambat, menggagalkan, atau mempengaruhi proses penegakan hukum. Dalam konteks Pasal 21 UU Tipikor, perbuatan ini mencakup upaya untuk mencegah, merintangi, atau menggagalkan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam kasus Tian Bahtiar, Kejaksaan Agung menyebut adanya pemufakatan jahat antara Tian dan dua tersangka lainnya—Marcella Santoso dan Junaedi Saibih—untuk memproduksi serta menyebarkan berita-berita yang menyudutkan penyidik Jampidsus. Uang sebesar Rp478,5 juta diduga diterima oleh Tian secara pribadi untuk mempublikasikan berita yang mendiskreditkan Kejaksaan di berbagai platform, termasuk media sosial dan tayangan Jak TV.
Selain itu, kegiatan seperti demonstrasi, seminar, hingga podcast pun diselenggarakan untuk mendukung narasi tersebut. Jumlah uang yang diterima oleh Tian Bahtiar tersebut, tentu saja, masih perlu dibuktikan lebih lanjut dalam proses persidangan, dan setiap tersangka berhak atas pembelaan hukum yang layak.
Jurnalisme Bayaran dan Krisis Etika Media
Jika benar adanya motif keuangan dan arahan dari pihak eksternal, maka tindakan ini sudah jauh menyimpang dari prinsip-prinsip dasar jurnalisme. Pers seharusnya bekerja dengan independen, berpijak pada fakta, dan mengutamakan kepentingan publik.
Ketika ruang redaksi dijadikan alat untuk menyebar opini pesanan demi kepentingan hukum seseorang, maka kita tak hanya berbicara soal etika jurnalistik yang dilanggar, tetapi juga potensi pidana dalam bentuk obstruction of justice.
Baca juga: Perampok Berkelit Jadi Pencuri: Pelajaran Hukum dari The Diamond Heist
Namun demikian, penting juga untuk menjaga keseimbangan dalam menilai kasus ini. Negara hukum yang sehat harus menjamin bahwa proses pidana tidak dipakai sebagai alat pembungkaman kebebasan pers. Oleh karena itu, aparat penegak hukum pun harus berhati-hati dalam membuktikan bahwa produk jurnalistik tersebut memang sengaja dibuat untuk merintangi penyidikan, bukan sekadar bentuk kritik atau ekspresi pendapat yang sah.
Kebebasan pers adalah pilar demokrasi yang harus dihormati, dan oleh karena itu harus ada jaminan bahwa hukum tidak disalahgunakan untuk membungkam suara media yang sah.

Menjaga Integritas Pers dan Penegakan Hukum yang Adil
Kasus ini harus menjadi pelajaran berharga bagi dua pihak: bagi jurnalis agar tetap memegang teguh prinsip etikanya, dan bagi penegak hukum agar tetap menjunjung asas keadilan dan proporsionalitas. Publik juga diharapkan semakin memahami bahwa kebebasan pers bukanlah kebebasan tanpa batas. Ia datang dengan tanggung jawab besar: menyampaikan kebenaran, bukan membangun narasi berdasarkan pesanan.
Obstruction of justice bukan hanya soal menghalangi proses hukum secara fisik atau administratif, tetapi juga mencakup manipulasi opini publik untuk memengaruhi jalannya penyidikan. Ketika jurnalisme diperalat untuk tujuan itu, maka ia telah kehilangan fungsi utamanya sebagai penjaga kebenaran.
Akhirnya, integritas media harus tetap dijaga, sama halnya dengan independensi aparat hukum. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap berbagai institusi, kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas adalah fondasi utama agar demokrasi tetap sehat dan berfungsi sebagaimana mestinya. ***
- Jurnalis, Pemerhati Keadilan Sosial, Hukum Bisnis, dan Hukum Lingkungan.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.