
KALDERA Toba kembali jadi sorotan. Bukan karena keindahannya, melainkan karena statusnya sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark (UGGp) terancam dicabut. Jika hal ini benar terjadi, citra pariwisata Indonesia akan terguncang. Bukan hanya sekadar pencoretan simbolik, ini adalah tamparan terhadap tata kelola destinasi berkelanjutan kita.
Apa yang Salah di Toba?
UNESCO memberikan sinyal “kartu kuning” kepada Geopark Kaldera Toba pada 2023. Evaluasi resmi akan dilakukan pertengahan Juli 2025. Jika hasilnya buruk, status UGGp yang diperoleh pada 2020 bisa dicabut. Penilaian itu tidak main-main.
Tim asesor UNESCO mencatat berbagai kelemahan, mulai dari rendahnya keterpaduan antar-pemangku kepentingan, minimnya pelibatan masyarakat lokal, hingga buruknya kondisi fasilitas geosite. Standar edukasi dan riset di kawasan pun dinilai lemah. Bahkan, pengelola Toba Caldera UGG juga dinilai pasif dalam forum dan pelatihan internasional UNESCO.
Baca juga: Geopark Indonesia Mendunia, 12 Kawasan Masuk Daftar UNESCO
Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kementerian Pariwisata, Hariyanto, menyebut pengelolaan kawasan belum optimal. Edukasi, penelitian berkelanjutan, hingga standardisasi informasi masih jauh dari harapan.
Menjaga Warisan, Menata Kebijakan: Jalan Terjal Revalidasi Geopark
Bagi banyak negara, status geopark dari UNESCO adalah bukti pengelolaan kawasan yang terintegrasi dan berkelanjutan. Indonesia punya 12 geopark di bawah UNESCO, termasuk Kaldera Toba. Jika Toba dicoret, bukan hanya status yang hilang, tetapi juga kredibilitas Indonesia dalam konservasi dan pariwisata berkelanjutan.
Taufan Rahmadi dari Dewan Pakar Gerakan Solidaritas Nasional menyebut hilangnya status Toba bisa jadi preseden buruk. Bukan hanya memperlemah kontrol terhadap kerusakan lingkungan dan pembangunan tak terkendali, tapi juga menggerus kepercayaan global terhadap kemampuan Indonesia menjaga warisan geologinya.
Baca juga: Krisis Iklim, Tiga Situs Bersejarah Indonesia Terancam Hilang
Menurut Taufan, solusi harus dimulai dari pembenahan serius: edukasi berbasis riset, revitalisasi badan pengelola, hingga peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan lintas kawasan. Studi banding ke geopark lain, baik dalam maupun luar negeri, juga dianggap perlu.

Revitalisasi pengelolaan mesti inklusif dan berbasis kolaborasi. Artinya, tidak hanya pemerintah pusat dan daerah, tetapi juga akademisi, masyarakat adat, dan pelaku wisata lokal harus dilibatkan.
Momen Evaluasi Menuju Reputasi Global
UNESCO Global Geopark bukan sekadar label. Ini adalah pengakuan atas upaya perlindungan, edukasi, dan pembangunan berkelanjutan. Kehilangan status itu akan berdampak langsung pada visibilitas kawasan dan peluang investasi berbasis konservasi.
Taufan menyarankan peningkatan visibilitas melalui pemasangan signage, peta digital, hingga kampanye media sosial untuk edukasi publik. Ia juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas. Progres perbaikan harus dipublikasikan rutin melalui website dan laporan media.
Baca juga: Jatiluwih & Wukirsari, 2 Desa Wisata Indonesia di Panggung Dunia
Dana Alokasi Khusus sebesar Rp 56,6 miliar telah digelontorkan pada 2024. Namun uang bukan satu-satunya jawaban. Evaluasi kebijakan, koordinasi lintas kabupaten, dan kepemimpinan strategis yang melibatkan pemantau independen harus dikedepankan.
Ancaman pencoretan Kaldera Toba dari daftar UNESCO bisa menjadi momentum reflektif: apakah pariwisata Indonesia akan terus bertumbuh dengan semangat konservasi, atau kembali ke masa ketika keindahan dieksploitasi tanpa arah. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.