
DI TENGAH desakan global untuk menekan emisi dan menjaga hutan tropis, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) melangkah lebih awal. Sejak 2009, provinsi ini berjuang keras untuk menjadi bagian dari skema insentif lingkungan global yang kini dikenal sebagai Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)–Carbon Fund.
Kerja keras itu akhirnya membuahkan hasil. Pada 2023, Kaltim menerima pencairan pertama sebesar US$ 20,9 juta atau sekitar Rp 338,66 miliar. Dana ini diberikan sebagai imbal hasil atas upaya menurunkan emisi melalui perlindungan hutan, sesuai mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) yang diatur dalam Pasal 5 Ayat 2 Perjanjian Paris.
“Skema ini bukan hibah biasa. Dana hanya dicairkan jika ada bukti penurunan emisi yang sahih dan terverifikasi,” ujar Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan Kaltim, Susilo Pranoto.
Target Besar di Atas Lahan Luas
FCPF-Carbon Fund menargetkan pengurangan emisi sebesar 22 juta ton CO₂ hingga akhir 2024. Cakupannya tidak main-main, sekitar 6,5 juta hektare hutan, atau setengah dari luas Kaltim, masuk dalam area perlindungan. Periode pengukuran kinerja berlangsung sejak Juli 2019 hingga Desember 2024, sedangkan kegiatan di lapangan berjalan dari 2020 hingga akhir 2025.
Baca juga: Liverpool FC Luncurkan Jersey Karbon Negatif
“Target akhir dari skema ini adalah insentif senilai US$ 110 juta. Tapi hingga kini, baru sekitar 20 persen yang cair. Sisanya masih menunggu hasil evaluasi dan negosiasi dengan Bank Dunia,” tambah Susilo.
Siapa Mendapat Apa?
Distribusi dana awal dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Lembaga ini menyalurkan dana langsung ke berbagai pihak. Mulai dari pemerintah pusat, pemprov, hingga masyarakat adat dan komunitas lokal.
Beberapa angka pembagian:
- Kementerian LHK dan UPT seperti Taman Nasional Kutai menerima Rp 28 miliar.
- BPDLH mengelola Rp 161,7 miliar.
- Pemprov Kaltim dan perangkat daerah mendapatkan Rp 69 miliar.
- Sisanya dialokasikan ke tujuh kabupaten, satu kota, 441 desa, 150 kelompok masyarakat, dan sejumlah lembaga perantara.

Transparansi dan keterlacakan menjadi prinsip utama distribusi. BPDLH memastikan dana langsung masuk ke akun penerima manfaat untuk mencegah kebocoran dan memudahkan audit.
Pengakuan Adat dan Sisa Komitmen
Di balik keberhasilan, Kaltim masih dihadapkan pada tantangan besar. Komitmen dana sebesar US$ 89 juta belum cair, sementara waktu kian sempit menuju 2025. Negosiasi terus dilakukan agar sisa dana bisa diselesaikan sebelum tenggat waktu.
Baca juga: Gambut dan Mangrove, Penjaga Karbon yang Terlupakan
Tak hanya itu, Bank Dunia menyoroti perlunya percepatan pengakuan masyarakat hukum adat. Tanpa kejelasan status, banyak komunitas adat tidak bisa mengakses manfaat dana karbon, meski mereka berperan besar dalam menjaga hutan.
“Dana karbon bukan hanya soal emisi, tapi juga keadilan ekologis,” tegas Susilo.
Membangun Model untuk Indonesia
Kaltim kini menjadi test case nasional. Keberhasilan provinsi ini bisa menjadi model pengelolaan skema karbon berbasis hasil untuk daerah lain. Lebih jauh, ini bisa menjadi batu loncatan Indonesia dalam diplomasi iklim global.
Program FCPF-Carbon Fund bukan akhir, melainkan awal dari perubahan tata kelola hutan yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada masyarakat penjaga hutan. Jika berhasil, Kaltim tidak hanya menyejukkan bumi, tapi juga memberi harapan baru bagi ekonomi hijau di Indonesia. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.