
NETFLIX mungkin tak menyangka, bahwa dokumenter mereka yang berjudul Con Mum justru membuka perdebatan hukum yang sangat penting.
Kasus Graham Hornigold, seorang pastry chef asal Inggris, yang ditipu ibu kandungnya sendiri, Dionne, bukan hanya menyayat secara emosional. Tetapi, juga menjadi cermin bahwa sistem hukum saat ini belum cukup tangkas menghadapi kejahatan berbasis manipulasi emosional dalam relasi keluarga.
Penipuan yang tak Tersentuh Pasal
Dionne tak memalsukan dokumen. Tak memaksa. Tak mengancam. Semua bantuan finansial diberikan Graham secara sukarela karena percaya pada ikatan darah dan narasi duka yang disampaikan sang ibu: sakit parah, warisan besar, waktu yang terbatas.
Namun seiring waktu, fakta membongkar semuanya. Dionne adalah penipu berantai lintas negara. Ia memanfaatkan kepercayaan dan kasih seorang anak untuk keuntungan pribadi.
Masalahnya, secara hukum, apa yang dilakukan Dionne sulit dikategorikan sebagai tindak pidana. Tidak ada kontrak fiktif. Tidak ada intimidasi. Tak ada bukti penipuan formal. Bahkan, saat kasus ini mencuat, aparat Inggris tidak bisa segera menjeratnya.
Celah Hukum dalam Penipuan Relasional
Dalam sistem hukum pidana konvensional, penipuan harus dibuktikan melalui unsur yang sangat spesifik. Seperti adanya niat jahat, penyampaian informasi palsu, serta kerugian akibat kebohongan tersebut. Tapi, bagaimana jika penipuan terjadi dalam bentuk relasi emosional? Bagaimana jika pelakunya adalah ibu sendiri?
Inilah yang disebut sebagai penipuan emosional berbasis relasi, atau dalam beberapa literatur hukum disebut sebagai emotional coercion. Sayangnya, banyak yurisdiksi belum memiliki instrumen hukum yang bisa menangani bentuk kejahatan seperti ini.
Jika manipulasi ini dilakukan oleh pasangan, beberapa negara sudah punya dasar hukum kekerasan psikologis atau coercive control. Tapi jika dilakukan oleh orangtua, apalagi dengan ikatan biologis, hukum sering kali tak berkutik.
Saat Manipulasi tak Terbukti, tapi Nyata
Setelah dokumenter ini tayang, publik marah. Penonton menelusuri jejak Dionne hingga akhirnya ia ditangkap di Singapura atas kasus serupa. Ia didakwa melakukan penipuan terhadap korban lain dengan pola yang sama. Mengaku sakit, mengaku punya warisan, dan meminta uang.

Dalam konteks ini, hukum akhirnya bisa bergerak. Bukan karena kasus Graham, tapi karena adanya bukti berulang dalam kasus lain. Ini membuka diskusi tentang pentingnya hukum mengenali ‘pola’ sebagai bukti intensi, bukan sekadar dokumen per kasus.
Waktu Hukum untuk Berbenah
Kasus Con Mum menunjukkan bahwa hukum bukan dikelabui, tapi belum siap. Dunia berubah, kejahatan berkembang, dan manipulasi berbasis kasih keluarga kini menjadi ruang baru yang belum terjangkau pasal-pasal klasik.
Jika tak segera dibenahi, hukum akan terus tertinggal. Dan para korban, seperti Graham, akan terus berdiri sendiri. Terluka, tapi tak bisa mengadu. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.
Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDIA