
BUAT kebanyakan orang, tumpukan sampah rumah tangga itu bikin stres. Tapi, bagi Kurniati Rachel Sugihrehardja, justru jadi titik awal sebuah gerakan. Semua berawal dari keresahannya soal karton susu bekas, jenis sampah yang bahkan pemulung pun ogah ambil.
Dari situ, lahirlah Popsiklus, brand lokal yang menyulap limbah jadi barang fungsional dan estetis. Intinya? Sampah bukan akhir, tapi awal dari sesuatu yang baru.
Bukan Sekadar Tas, tapi Pernyataan Sikap
Popsiklus nggak cuma jual tas handmade. Popsiklus hadir sebagai respons atas masalah lingkungan, dengan gaya. Lewat pendekatan upcycling, mereka mengubah bahan-bahan yang biasanya berakhir di TPA jadi dompet, tas modular, dan berbagai aksesori yang penuh warna dan karakter.
Baca juga: Plana Ubah Limbah Plastik dan Sekam Padi Jadi Kayu Berkualitas
Semuanya dibangun atas satu prinsip, reimagining waste. Bukan buang, tapi pikir ulang.
Desain yang Fleksibel, Ramah Bumi
“Kalau mau upcycle, kita nggak bisa mulai dari desain lalu cari bahan. Harus mulai dari bahan yang ada, karena itu juga tanggung jawab kita,” jelas Nia (sapaan Rachel) saat ditemui mulamula dan SustainReview di Local Market ID, Cipete, Jakarta, 19 Juli 2025.

Desain Popsiklus lahir dari keterbatasan bahan, bukan inspirasi catwalk. Contohnya Milk Carton Modular Bag yang bisa dilepas-pasang. Itu muncul dari kebutuhan nyata, supaya tas bisa dikemas hemat ruang saat dikirim ke Jepang. Hasilnya? Hemat ongkos kirim, tetap keren, dan minim limbah.
Baca juga: Clear Smile Ultra, Karya Dosen Indonesia untuk Solusi Gigi Tanpa Listrik
Nia sadar, menjalani bisnis berbasis sampah artinya harus siap adaptasi terus-menerus. “Kita nggak bisa bikin rencana jangka panjang. Bahan bakunya, limbah, nggak bisa kita kontrol,” katanya. Bahkan, dia bilang kalau Popsiklus idealnya tutup kalau limbah karton susu suatu hari sudah tidak ada.
Dari Skeptis Jadi Supportif
Dulu, orang beli karena suka desainnya saja. Sekarang, makin banyak yang beli karena paham isu lingkungan. Pasar mulai melek bahwa produk daur ulang itu bukan murahan, tapi bentuk kreativitas dan tanggung jawab.
Tapi ekspektasi juga makin tinggi. Banyak yang minta pengiriman Popsiklus 100% bebas sampah. Padahal belum semua sistem mendukung. “Lakban kertas gampang robek. Ekspedisi juga belum semua peduli,” jelas Nia. Solusinya? Gerak bareng, nggak bisa sendiri. Butuh sistem yang saling dukung, dari kreator sampai logistik.

Tantangan Nyata, Plagiat dan Skala Industri
Masalah lain yang jarang dibahas penjiplakan desain. Beberapa produk Popsiklus pernah ditiru brand luar dan diproduksi massal. “Rasanya nyesek. Kita kecil, mereka besar, tapi nggak ada perlindungan,” curhat Nia.
Baca juga: Prada dan Sandal Kolhapuri, Inspirasi atau Apropriasi Budaya?
Meski begitu, Popsiklus tetap melaju. Bagi mereka, setiap produk punya cerita. Bukan cuma soal gaya, tapi juga pesan tentang tanggung jawab, kreativitas, dan masa depan yang lebih bijak dalam kelola sampah. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.
Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDI