AI Melaju, Hukum Masih Tertinggal: Jangan Ulangi Tragedi Robot Trading

AI dan Tantangan Hukum – Kemajuan kecerdasan buatan di Indonesia belum diimbangi dengan kerangka hukum yang memadai, memunculkan kekosongan regulasi dalam menghadapi dampak sosial dan ekonomi. Foto: Ilustrasi/ ThisIsEngineering/ Pexels.

Oleh: Hamdani S Rukiah, S.H, M.H.

BEBERAPA tahun lalu, Indonesia diguncang oleh skandal robot trading. Ribuan orang menjadi korban dari sistem perdagangan otomatis yang mengklaim menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk meraih keuntungan instan. Saat korban berjatuhan dan kerugian menumpuk, negara baru menyadari kekosongan hukum yang membuat perlindungan tidak memadai dan penindakan hukum menjadi sulit.

Hari ini, kita berhadapan dengan ledakan baru dalam pemanfaatan teknologi AI yang jauh lebih kompleks dan merasuk ke berbagai sektor kehidupan. Mulai pendidikan, kesehatan, ekonomi kreatif, birokrasi, hingga sistem keamanan. Namun, kita menghadapi kenyataan pahit yang sama, hukum kembali tertinggal.

Kekosongan Regulasi AI

Indonesia hingga kini belum memiliki satu pun undang-undang khusus yang secara eksplisit mengatur kecerdasan buatan. Regulasi yang tersedia hanya mencakup Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika (SE Menkominfo) Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Penggunaan AI, yang bersifat imbauan moral dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Baca juga: Boom AI di Indonesia, Banyak Pengguna Minim Pencipta

Padahal, perkembangan AI sudah nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Teknologi ini digunakan untuk membuat konten digital, menulis artikel, menciptakan musik, bahkan menggantikan peran kreator manusia dalam industri ekonomi digital. Namun, pertanyaan hukum mendasar justru belum terjawab: siapa yang bertanggung jawab atas konten yang dihasilkan AI? Apakah karya tersebut bisa mendapatkan perlindungan hak cipta? Siapa pemilik sahnya?

Sistem hukum kita belum siap menghadapi kenyataan bahwa mesin kini bisa mencipta, memutuskan, dan memengaruhi perilaku manusia, tanpa keterlibatan langsung manusia dalam prosesnya.

Risiko Ekonomi, Sosial, dan Politik

Dalam sektor ekonomi kreatif, AI telah merevolusi cara kerja para kreator. Aplikasi seperti Suno, Boomy, atau Midjourney memungkinkan siapa pun menghasilkan musik, ilustrasi, atau video dengan bantuan mesin. Namun, sistem hukum kekayaan intelektual kita masih mensyaratkan karya sebagai ciptaan manusia. Maka timbul persoalan, dapatkah AI menjadi subjek hukum? Jika tidak, maka tidak ada perlindungan hukum terhadap konten itu dan tidak ada pihak yang bisa dimintai tanggung jawab.

Kecerdasan buatan (AI) menghadirkan peluang kolaborasi antara manusia dan teknologi. Namun tanpa kerangka hukum yang jelas, hubungan ini bisa berujung pada ketimpangan, penyalahgunaan, dan ketidakadilan digital. Foto: Ilustrasi/ Tara Winstead/ Pexels.

Lebih mengkhawatirkan lagi adalah munculnya teknologi deepfake, yang memungkinkan manipulasi wajah dan suara untuk membuat konten provokatif, memecah belah, dan menyebarkan disinformasi. Ketika AI digunakan sebagai alat propaganda atau fitnah politik, hukum yang ada saat ini tidak cukup cepat maupun kuat untuk merespons.

Negara Harus Lebih Cepat dari Algoritma

Jika kita membiarkan situasi ini berlanjut, Indonesia bukan hanya tertinggal dalam inovasi, tapi juga rentan terhadap krisis sosial dan hukum yang lebih besar. Regulasi yang ada tidak boleh sekadar tambal sulam atau bersifat reaktif. Kita membutuhkan Undang-Undang AI yang komprehensif, adaptif, dan partisipatif.

Baca juga: Revolusi Pertanian, AI dan Robot Mengubah Cara Kita Bertani

Penyusunan UU tersebut harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Pelaku industri teknologi, akademisi, komunitas sipil, dan penegak hukum. Undang-undang ini perlu mengatur prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi algoritma, perlindungan data pribadi, serta tanggung jawab hukum atas tindakan dan dampak AI, tanpa menghambat ruang inovasi.

Uni Eropa telah lebih dahulu melangkah dengan AI Act, yang menjadi kerangka hukum pertama di dunia untuk memastikan bahwa AI digunakan secara etis dan bertanggung jawab. Indonesia dapat belajar dari pendekatan itu, namun perlu menyesuaikannya dengan kebutuhan sosial dan struktur hukum nasional.

Jangan Ulangi Kesalahan yang Sama

Kasus robot trading seharusnya menjadi pelajaran berharga. Waktu itu, kita gagal mengantisipasi risiko dari teknologi karena hukum datang terlambat. Sekarang, dengan AI berkembang lebih cepat dan lebih dalam, kita tidak punya kemewahan untuk mengulangi kesalahan serupa.

Baca juga: AI Atur Lampu Merah, Polusi di Persimpangan Bisa Turun Drastis

Negara harus hadir, tidak hanya untuk mengejar ketertinggalan, tapi juga untuk mengantisipasi masa depan. AI bukan semata-mata alat bantu teknologi. AI adalah kekuatan transformasional yang bisa membawa kemajuan atau kehancuran, tergantung dari bagaimana hukum mengendalikannya. ***

  • Penulis adalah Praktisi Media dan Magister Hukum Bisnis Internasional Universitas Esa Unggul Jakarta.

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *