
DALAM dunia yang semakin terhubung, ketahanan pangan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama. Namun, kenyataannya tak selalu sejalan dengan idealisme. Keputusan Amerika Serikat menghentikan bantuan pangan darurat ke 14 negara menandai titik krusial baru dalam krisis kemanusiaan global.
Langkah ini diumumkan oleh World Food Programme (WFP) pada Senin, 7 April 2025, melalui platform X. Tanpa merinci negara-negara yang terdampak, WFP menyatakan bahwa penghentian tersebut bisa menjadi “hukuman mati bagi jutaan orang.”
Pernyataan itu bukan sekadar retorika. Di banyak wilayah dunia, bantuan dari lembaga internasional menjadi satu-satunya jaring pengaman bagi populasi yang hidup di tengah konflik, bencana alam, dan kelangkaan pangan. Saat donatur terbesar seperti AS mundur, konsekuensinya sangat nyata dan mendesak.
Krisis Dana yang Menggerus Harapan
Pendanaan WFP sendiri telah menyusut drastis tahun ini—turun hingga 40 persen. Di tengah krisis pangan global yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, kabar buruk ini datang bertubi-tubi. Keputusan AS semakin memperparah kondisi.
United States Agency for International Development (USAID), badan utama AS dalam bantuan luar negeri, sebelumnya mengelola anggaran tahunan mencapai USD 42,8 miliar. Angka ini mencakup hampir separuh dari seluruh bantuan global. Dengan pemotongan besar-besaran yang terjadi, peta bantuan dunia berubah dalam waktu singkat.
Baca juga: Pangan Berkelanjutan Selamatkan 300 Juta Jiwa dari Malnutrisi
Organisasi lain seperti Dana Kependudukan PBB (UNFPA) pun terdampak. Dua program utama mereka—di Afghanistan dan Suriah—resmi dihentikan. Program yang berfokus pada kesehatan perempuan dan anak itu sebelumnya menjadi penyelamat di kawasan yang penuh konflik.
Politik Global dan Arah Baru Bantuan
Pemotongan ini bukanlah kebijakan spontan. Pemerintahan Presiden Donald Trump, yang kembali menjabat, menerapkan pendekatan luar negeri yang lebih tertutup. Prioritas dalam negeri menjadi fokus utama, sementara keterlibatan dalam komitmen global dikurangi secara signifikan.

Paradigma ini berdampak luas. Tak hanya terhadap badan-badan PBB, tapi juga terhadap LSM dan inisiatif lokal yang bergantung pada pendanaan internasional untuk menjalankan program-program keberlanjutan, terutama di bidang pangan dan kesehatan.
Keputusan AS juga memberi sinyal buruk bagi negara-negara donor lain. Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa di antaranya mengikuti jejak AS, dengan memotong kontribusi atau menunda bantuan yang telah dijanjikan.
Dampak bagi Indonesia dan Kawasan
Meski Indonesia bukan termasuk dalam daftar 14 negara tersebut, dampak tidak langsung tetap terasa. Beberapa program regional di kawasan Asia Tenggara memiliki ketergantungan terhadap kerangka pendanaan global. Ketika salah satu pilar utama goyah, keseluruhan sistem pun ikut bergetar.
Sebagai negara yang berkomitmen pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Indonesia perlu merespons dengan memperkuat kerja sama regional, memperluas pendanaan domestik untuk ketahanan pangan, serta meningkatkan diplomasi kemanusiaan.
Baca juga: Pangan Dunia Tersandera 9 Tanaman, Alarm Bahaya dari FAO
Para pelaku di sektor pangan dan keberlanjutan juga perlu mengevaluasi ketergantungan terhadap dana internasional. Diversifikasi pendanaan, kolaborasi lintas sektor, dan pendekatan berbasis komunitas bisa menjadi solusi untuk mengurangi risiko jangka panjang.
Saatnya Reposisi Peran Global
Krisis ini membuka ruang refleksi: siapa yang akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan AS? Apakah negara-negara berkembang bisa saling menopang dan membangun solidaritas baru dalam menghadapi tantangan global?
Jawabannya mungkin terletak pada komitmen kolektif, bukan hanya dari pemerintah, tetapi juga dari sektor swasta, filantropi, dan komunitas global yang peduli pada keberlanjutan. Dunia sedang mencari pemimpin baru dalam solidaritas. Mungkin saatnya Indonesia ikut bersuara lebih keras di panggung global. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.