
DI TENGAH dorongan global untuk mempercepat transisi energi, posisi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia terus menjadi perdebatan. Namun, bagi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, mempensiunkan PLTU bukan sekadar keputusan teknokratis. Ini soal uang, teknologi, dan tanggung jawab bersama.
“Kalau ada dananya, besok juga kita pensiunkan,” ujar Bahlil di Jakarta, Senin (26/5/2025). Ucapannya lugas, tapi mencerminkan realita kompleks. Pensiun dini PLTU batu bara bukan sekadar kebijakan, tapi investasi besar yang butuh sokongan global.
Di Antara Ideal dan Realitas
Desakan untuk mempensiunkan PLTU datang dari berbagai arah: LSM lingkungan, komunitas internasional, hingga perjanjian iklim. Namun, Bahlil menyentil ketimpangan antara permintaan dan dukungan. “Jangan minta pensiun, tapi uangnya nggak dikasih. Bunga mahal, teknologi mahal. Bebannya siapa? PLN?”
Sejauh ini, hanya satu PLTU di Cirebon yang direncanakan untuk pensiun dini. Sisanya? Masih aktif, bahkan masuk dalam rencana jangka menengah. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 mencatat tambahan kapasitas sebesar 6,3 GW dari PLTU baru. Sebagai pembanding, gas akan menyumbang 10,3 GW.
Baca juga: PLTU Tutup Dini, Selamatkan Nyawa dan Ekonomi
Bahlil bahkan menyebut gas sebagai “setengah fosil”, dan menilai batu bara masih relevan, mengingat negara-negara seperti Turki dan beberapa wilayah Eropa masih menggunakannya. “Kita ini kadang terlalu kekinian,” katanya menyindir tuntutan yang tidak memperhitungkan konteks nasional.
Beban Transisi yang Tak Merata
Transisi energi di Indonesia menghadapi tantangan struktural. Sebagian besar kebutuhan listrik nasional masih ditopang oleh energi fosil. PLN sebagai operator utama pun menghadapi dilema: menjaga pasokan listrik, efisiensi biaya, sekaligus menurunkan emisi.
Praktisi energi menyebut skema pensiun dini memerlukan mekanisme pembiayaan yang adil. Salah satu pendekatan global yang sedang dikaji adalah Energy Transition Mechanism (ETM), yang memungkinkan negara berkembang menutup PLTU lebih cepat lewat dukungan donor.
Baca juga: PLTU vs Energi Bersih, Dilema Indonesia dalam Paris Agreement

Namun, menurut Bahlil, hingga kini belum ada komitmen konkret dari lembaga keuangan internasional untuk pembiayaan murah dan teknologi ramah lingkungan. Padahal, menurutnya, Indonesia terbuka terhadap solusi jika dana dan teknologi tersedia.
Menuju Batu Bara Bersih?
Salah satu terobosan yang diandalkan pemerintah adalah penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS). Teknologi ini memungkinkan penangkapan dan penyimpanan emisi karbon dari PLTU. “Dengan CCS, batu bara bisa jadi bersih. Ini bukan soal hitam-putih, tapi soal solusi,” jelas Bahlil.
Baca juga: Transisi Energi Indonesia, Antara Ambisi Global dan Realita Lokal
Ia menegaskan, persepsi negatif terhadap batu bara harus diluruskan. “Jangan sampai barang kita dibilang kotor hanya agar barang impor yang bersih bisa masuk mahal-mahal,” tegasnya.
Jalan Tengah yang Diperlukan
Dalam situasi ini, pendekatan realistis dan bertahap menjadi jalan tengah yang masuk akal. Transisi energi bukan sekadar mengganti sumber daya, tetapi juga membangun ekosistem baru—dari pendanaan, regulasi, hingga kesiapan teknologi.
Untuk Indonesia, peta jalan dekarbonisasi perlu disusun dengan memperhitungkan konteks nasional dan keadilan transisi. Tanpa dukungan konkret dari negara maju dan lembaga keuangan global, pensiun dini PLTU bisa jadi mimpi yang mahal dan tidak berkelanjutan. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.