Banjir itu Serem, tapi Racunnya Lebih Serem Lagi

Polutan lama di dasar sungai bisa bangkit dan masuk rantai makanan saat banjir menerjang.

Sejumlah warga mendorong mobil yang terjebak banjir di tengah jalan kota. Selain melumpuhkan aktivitas, banjir juga berisiko membawa polutan berbahaya dari sedimen jalanan dan saluran air yang tercemar. Foto: Sveta K/ Pexels.

BANJIR tak hanya membawa air. Dalam banyak kasus, banjir juga mengangkat kembali racun-racun lama yang terpendam di dasar sungai, danau, dan pesisir. Ini bukan skenario fiksi, melainkan peringatan serius dari laporan terbaru United Nations Environment Programme (UNEP) berjudul Frontiers 2025: The Weight of Time.

Laporan itu menyoroti bahaya tersembunyi dari polutan beracun yang telah mengendap selama puluhan tahun di sedimen perairan. Ketika banjir datang, terutama akibat badai tropis dan hujan ekstrem, polutan itu bisa tersebar kembali ke lingkungan, mengalir ke wilayah pemukiman, pertanian, hingga memasuki rantai makanan.

Racun yang Bangkit Kembali

Polutan yang dimaksud tak hanya berasal dari masa lalu industri, tetapi juga dari produk-produk yang kita konsumsi sehari-hari. Di antaranya adalah logam berat seperti timbal dan kadmium, zat beracun bahkan dalam konsentrasi sangat rendah, serta bahan kimia sintetis seperti pestisida dan produk sampingan pembakaran sampah.

Baca juga: Anak Zaman Now, Korban Iklim Masa Lalu

Zat-zat ini terperangkap dalam lumpur dan sedimen selama bertahun-tahun. Namun saat banjir menerjang, lumpur itu terangkat, dan racun kembali menyebar. Dampaknya tak main-mai. Mulai dari kerusakan saraf, gangguan organ, hingga risiko kanker.

Dari Sungai ke Rantai Makanan

Polutan lama ini memiliki satu karakteristik berbahaya, sulit terurai. Akibatnya, mereka bisa menumpuk di tubuh organisme air dan terus merambat naik dalam rantai makanan, dari ikan ke manusia. Proses ini disebut bioakumulasi dan bisa berlangsung selama bertahun-tahun tanpa disadari.

Pemandangan udara wilayah permukiman yang terdampak banjir parah. Genangan air tak hanya melumpuhkan aktivitas warga, tetapi juga berpotensi menyebarkan polutan berbahaya dari sedimen sungai dan lahan terkontaminasi. Foto: Ilustrasi/ Pok Rie/ Pexels.

UNEP mencontohkan kejadian Badai Harvey yang melanda Texas pada 2017. Banjir besar saat itu menyeret sedimen kaya bahan kimia karsinogenik dan merkuri ke Teluk Galveston. Peristiwa ini menjadi bukti nyata bahwa banjir kini tak hanya soal genangan, tapi juga ancaman kimia tersembunyi.

Baca juga: Banjir Rob dan Krisis Air Tanah, Ancaman Ganda untuk Jakarta

Dari Alam untuk Alam

Menghadapi ancaman ini, solusi teknis saja tak cukup. Mengutip Down to Earth, para ahli menyarankan pendekatan berbasis alam (nature-based solutions), seperti restorasi lahan basah, rehabilitasi hutan riparian, dan pembangunan infrastruktur hijau yang mampu menyerap limpasan air secara alami.

Baca juga: Banjir Jabodetabek: Saat Kota Tak Lagi Ramah untuk Warganya

Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) juga menjadi kunci. Ini mencakup pengaturan tata ruang, konservasi vegetasi, hingga desain kota yang cerdas dalam mengelola air hujan dan limbah. Perencanaan semacam ini harus menyeluruh, tidak sektoral, dan adaptif terhadap perkembangan ilmu.

Tak kalah penting, pemantauan polutan harus dilakukan secara berkala di seluruh perairan utama. Pemantauan ini mesti melibatkan masyarakat lokal, terutama mereka yang hidup di sekitar sungai dan pesisir. Pengetahuan lokal sering kali memegang kunci untuk deteksi awal dan respons cepat terhadap perubahan lingkungan. ***

Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *