JAKARTA kembali menghadapi kenyataan pahit. Penurunan permukaan air tanah yang mencapai 39 sentimeter per tahun menjadi ancaman serius bagi ibu kota. Jika dibiarkan, dalam satu dekade, Jakarta akan kehilangan hingga tiga meter ketinggian tanahnya. Kondisi ini tak hanya memicu banjir rob di kawasan utara Jakarta, tetapi juga berisiko memperburuk dampak perubahan iklim secara keseluruhan.
Dampak Ganda, Penurunan Tanah dan Naiknya Permukaan Laut
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menyoroti dampak besar dari penurunan air tanah terhadap banjir rob. “Ketika Kutub Utara mencair, permukaan air laut naik. Bersamaan dengan penurunan air tanah, risiko banjir rob meningkat secara signifikan,” ujarnya saat meninjau Terminal Terpadu Pulogebang di Jakarta Timur pada Jumat (27/12).
Baca juga: Jakarta Lanjutkan Rekayasa Cuaca untuk Cegah Banjir Desember
Penurunan permukaan tanah ini bukan masalah baru. Penyebab utamanya adalah eksploitasi air tanah yang masif. Banyak warga Jakarta mengandalkan air tanah karena kualitas air permukaan, seperti sungai, sudah tercemar berat. Hanif mengungkapkan bahwa 13 sungai utama di Jakarta tidak lagi mampu menyediakan air bersih. “Kita berlomba-lomba mengambil air tanah tanpa menyadari akibatnya,” tegasnya.
Krisis Air Tanah, Pilihan Sulit Jakarta
Jakarta menghadapi dilema besar. Di satu sisi, air tanah terus diambil untuk memenuhi kebutuhan, sementara di sisi lain, sumber air permukaan sudah tidak layak digunakan. Penurunan muka tanah akibat eksploitasi ini berdampak sistemik, mulai dari risiko banjir rob yang semakin besar hingga ancaman terhadap infrastruktur vital kota.
Baca juga: Desember & Cuaca Ekstrem, Apa yang Perlu Diwaspadai Jabodetabek?
Kementerian Lingkungan Hidup kini berupaya mengevaluasi penggunaan air tanah. Kebijakan ini diharapkan dapat menekan laju penurunan tanah. Namun, solusi ini tidak cukup tanpa adanya perbaikan kualitas air sungai. Hanif menekankan pentingnya langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada air tanah dan memulihkan sungai-sungai yang tercemar.
Restorasi Mangrove, Pertahanan Alami Jakarta Utara
Sebagai langkah mitigasi, penanaman kembali mangrove menjadi prioritas pemerintah. Vegetasi ini dinilai mampu meredam tekanan air laut yang masuk ke daratan. “Hanya dengan membangun kembali vegetasi yang kuat, tekanan dari laut bisa diminimalisir,” kata Hanif.
Baca juga: Mangrove, Penjaga Pesisir yang Kian Terancam
Mangrove tidak hanya berfungsi sebagai pelindung alami, tetapi juga sebagai penyerap karbon yang efektif, mendukung upaya mitigasi perubahan iklim. Langkah ini diharapkan menjadi solusi jangka panjang untuk melindungi Jakarta Utara dari ancaman banjir rob yang semakin besar.
Panggilan untuk Bertindak
Krisis ini menjadi pengingat keras bagi semua pihak. Jakarta perlu segera beralih ke solusi yang lebih berkelanjutan, seperti memperbaiki pengelolaan air permukaan dan memulihkan ekosistem mangrove. Namun, upaya ini membutuhkan kerja sama semua pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat.
Mengurangi eksploitasi air tanah harus menjadi prioritas. Selain itu, perlu ada inovasi dalam teknologi pengelolaan air untuk memastikan ketersediaan air bersih bagi warga Jakarta tanpa merusak lingkungan lebih lanjut.
Baca juga: Biaya Polusi Udara Jakarta: Rp52 Triliun per Tahun
Krisis air tanah di Jakarta bukan hanya tantangan lokal, melainkan juga cerminan bagaimana perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya dapat mengancam kota-kota besar di dunia. Dengan langkah-langkah strategis dan kolaborasi, harapan untuk menyelamatkan Jakarta dari ancaman tenggelam masih ada. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.