‘Biggest Heist Ever’, Pelajaran Hukum dari Skandal Kripto Terbesar Dunia

Ilustrasi Bitcoin sebagai aset digital yang kompleks secara hukum. Kasus peretasan Bitfinex membuka tantangan besar bagi regulasi dan penegakan hukum global. Foto: Ilustrasi/ DS Stories/ Pexels.

DOKUMENTER Biggest Heist Ever di Netflix tak sekadar memotret drama peretasan Bitcoin. Di balik kisah cinta, eksentrik, dan miliaran dolar, ada pelajaran hukum penting tentang penanganan kejahatan digital lintas batas, tata kelola aset kripto, dan celah regulasi yang belum sepenuhnya menjawab tantangan era baru.

Peretasan Bitfinex pada 2016 mencuri 119.754 BTC, saat itu setara USD 72 juta, tapi melonjak menjadi lebih dari USD 11 miliar saat kasus terbongkar. Uangnya hilang, pelakunya lama tak terdeteksi. Ini membuka diskusi penting, bagaimana negara bisa menjerat pelaku kejahatan finansial yang tak terikat oleh yurisdiksi fisik?

Baca juga: ‘Biggest Heist Ever’: Ketika Kripto, Cinta, dan Kejahatan Menari Bersama

Kejahatan Tanpa Batas, Penegakan Hukum yang Terlambat

Ilya Lichtenstein dan Heather Morgan akhirnya ditangkap FBI pada 2022. Mereka dituduh melakukan pencucian uang (money laundering), bukan peretasan langsung. Di sinilah menariknya.

Baca juga: Poop Cruise dan Lubang Hukum di Laut Lepas

Karena transaksi kripto anonim dan berbasis blockchain, FBI lebih mudah menelusuri jejak digital pencucian uang mereka ketimbang membuktikan tindak peretasan Bitfinex secara langsung. Ilya bahkan mengaku baru pada tahap penyidikan bahwa ia adalah pelaku utamanya.

Artinya, penegakan hukum dalam kasus ini lebih bertumpu pada pembuktian secondary crime (pencucian) ketimbang primary crime (peretasan).

Masih Ada Kekosongan Hukum Global

Kasus ini menyoroti kekosongan regulasi aset digital secara global. Bitcoin bukan alat pembayaran resmi di banyak negara, termasuk Indonesia. Namun nilai asetnya nyata. Maka, saat terjadi peretasan atau pencucian, aparat penegak hukum kerap kesulitan menentukan yurisdiksi, otoritas, dan kerangka hukum yang bisa digunakan.

Cuplikan trailer Biggest Heist Ever di Netflix yang mengangkat kisah nyata pasangan dijuluki “Bitcoin Bonnie and Clyde” dalam peretasan kripto terbesar sepanjang sejarah. Video: Youtube/ Netflix.

Amerika Serikat, dalam kasus ini, memanfaatkan hukum federal tentang financial fraud dan anti-money laundering. Tapi, negara-negara lain belum tentu punya aturan sekuat itu. Ini tantangan besar bagi hukum internasional dan sistem perbankan global.

Refleksi Bagi Dunia Hukum di Indonesia

Bagi Indonesia, Biggest Heist Ever menjadi pengingat bahwa dunia digital menuntut sistem hukum yang adaptif dan lintas batas. UU ITE dan peraturan OJK soal aset kripto masih dalam tahap penguatan. Sementara pelaku kejahatan digital semakin canggih.

Baca juga: ‘Air Cocaine’, Bagaimana Dua Pilot Prancis Lolos dari Jerat Hukum Internasional

Mahasiswa dan praktisi hukum perlu mulai mempelajari:

  • Hukum forensik digital,
  • Aspek pembuktian cybercrime,
  • Kolaborasi lintas negara dalam penegakan hukum.

Kasus Heather dan Ilya menunjukkan pentingnya kerja sama antar lembaga, kemampuan digital investigasi, dan pembaruan sistem hukum agar tak tertinggal oleh teknologi.

Bukan Sekadar Skandal, tapi Peta Jalan Pembaruan

Biggest Heist Ever adalah cermin masa depan. Ketika uang tidak lagi berbentuk fisik, ketika pelaku tak bisa dilacak lewat paspor, dan ketika kejahatan bisa disimpan dalam spreadsheet Google, apa yang bisa dilakukan hukum?

Baca juga: Poop Cruise, Ketika Liburan Mewah Berubah Jadi Mimpi Buruk di Tengah Laut

Film ini layak jadi bahan diskusi di ruang kelas, forum praktisi, hingga pembuat kebijakan. Karena jika hukum tak segera berubah, maka hukumlah yang akan ditinggalkan. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDIA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *