
Tubuh manusia kini kian rentan. Di balik panas yang menyengat dan hujan yang makin tak menentu, perubahan iklim diam-diam mempercepat penyebaran penyakit menular. Bukan hanya demam berdarah atau malaria, tuberkulosis (TB) pun ikut terdampak.
PENELITIAN terbaru dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membuka mata: krisis iklim bukan hanya ancaman ekologis, tapi juga risiko kesehatan serius. Lewat pendekatan climate epidemiology, peneliti dari Pusat Riset Sains Data dan Informasi (PRSDI) BRIN, Dianadewi Riswantini, menunjukkan bahwa perubahan suhu, cuaca ekstrem, dan kualitas air yang menurun mempercepat munculnya kasus TB, terutama di Jawa Barat.
“Kami tidak hanya ingin memetakan, tapi juga membantu pemerintah menyusun strategi adaptasi kesehatan yang berbasis data,” ujar Dianadewi.
Jawa Barat dalam Pusaran Risiko
Dalam studi berjudul Potential Risk of New Tuberculosis Cases in West Java, tim BRIN menganalisis data 2019-2022 dari BPJS, BPS, Open Data, hingga Copernicus Climate. Fokusnya: memahami pola spasial dan temporal penyebaran TB baru.
Hasilnya mencemaskan. Kabupaten Karawang, Majalengka, dan Kuningan teridentifikasi memiliki pola penyebaran signifikan dalam ruang dan waktu. Sementara itu, wilayah seperti Bogor, Sukabumi, Bandung, dan Karawang konsisten menunjukkan risiko tinggi, dengan nilai risiko relatif mencapai 15.
Apa yang menyebabkan ini? BRIN mengungkap variabel-variabel kunci yang berpengaruh: curah hujan harian, tingkat kelembapan, kepadatan penduduk, akses terhadap air bersih dan sanitasi, tingkat kemiskinan, hingga partisipasi angkatan kerja.

Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan ekosistem yang ideal bagi penyebaran TB. Iklim yang tak stabil memicu gangguan pernapasan, penurunan imunitas, serta peningkatan potensi penularan dalam komunitas padat dan rentan.
Bukan TB Saja yang Mengintai
Krisis iklim adalah katalis dari berbagai penyakit. Perubahan ekologi vektor telah mempercepat penyebaran penyakit dari nyamuk seperti demam berdarah, malaria, dan chikungunya. Sementara cuaca ekstrem, seperti panas ekstrem atau banjir bandang, turut memicu gangguan pernapasan, alergi, hingga masalah gizi.
“Panas berlebih meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke. Itu bisa berujung fatal,” jelas Dianadewi.
Baca juga: Dunia Hadapi Ancaman Jamur Ganas akibat Pemanasan Global
Lebih jauh lagi, kondisi lingkungan yang tak menentu memengaruhi stabilitas mental masyarakat. Kecemasan akan bencana, kehilangan penghidupan, serta stres akibat adaptasi hidup di tengah cuaca tak bersahabat menjadi momok yang tak kasat mata.
Data sebagai Senjata Adaptasi
Menurut BRIN, data menjadi kunci adaptasi. Lewat analisis statistik dan pemetaan risiko, pemerintah daerah dapat lebih sigap menetapkan wilayah prioritas untuk intervensi kesehatan. “Kami berharap pendekatan ini bisa diterapkan tak hanya untuk TB, tapi juga untuk penyakit iklim lainnya,” ujar Dianadewi.
Baca juga: Anak Zaman Now, Korban Iklim Masa Lalu
Bagi para praktisi dan pengambil kebijakan di sektor kesehatan dan lingkungan, riset ini memberi arah baru: perubahan iklim bukan lagi soal es mencair di kutub. Ia ada di antara kita—di jalanan, di rumah padat penduduk, di puskesmas yang penuh antrean pasien batuk berdarah.
Krisis ini nyata. Adaptasi tak lagi pilihan, tapi keharusan. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.