Bumi Panas, Ekonomi Rontok: Alarm Baru dari Australia

Lahan retak dan tandus menjadi bukti visual bagaimana krisis iklim bisa merusak produktivitas pertanian dan daya tahan ekonomi lokal. Foto: Ilustrasi/ Kiptoo Addi/ Pexels.

BAYANGKAN dunia yang lebih panas 4 derajat Celsius. Bukan hanya lautan yang meluap atau hutan yang terbakar. Yang ikut terbakar adalah pundi-pundi ekonomi global.

Riset terbaru dari University of New South Wales (UNSW), Australia, membawa kabar tak sedap: ekonomi dunia bisa terpangkas hingga 40 persen pada akhir abad ini jika suhu Bumi terus naik. Lebih mengkhawatirkan, angka ini hampir empat kali lipat dari estimasi sebelumnya yang hanya 11 persen.

Bukan Sekadar Ramalan Iklim

Penelitian yang dipublikasikan dalam Environmental Research edisi Maret 2025 ini menyodorkan temuan penting: kerugian ekonomi global akibat perubahan iklim ternyata jauh lebih besar ketika disrupsi rantai pasok ikut diperhitungkan.

Baca juga: Sepertiga Bumi Bisa Tak Layak Huni, Dunia di Ambang Krisis

Cuaca ekstrem, seperti banjir besar, kekeringan parah, dan badai tropis yang makin sering terjadi, mengacaukan jalur distribusi barang dan jasa. Akibatnya, aktivitas produksi terganggu, harga-harga melonjak, dan ekonomi global mengalami efek domino.

“Selama ini, model ekonomi konvensional terlalu fokus pada data historis,” ujar Peneliti Institute for Climate Risk and Response UNSW, Timothy Neal. Ia menambahkan, “Yang sering luput adalah dampak besar dari gangguan rantai pasok global karena iklim ekstrem.”

Tidak Ada Negara yang Kebal

Ada narasi lama bahwa negara-negara beriklim dingin seperti Kanada atau Rusia akan diuntungkan dengan pemanasan global. Lebih banyak lahan yang bisa ditanami, lebih sedikit kebutuhan energi untuk pemanas, dan sebagainya.

Namun riset Neal membantah asumsi itu. “Ketergantungan antarnegara dalam rantai pasok global menjadikan semuanya rentan,” tegasnya. Jika satu wilayah terguncang karena bencana iklim, seluruh sistem suplai bisa kolaps, terlepas dari posisi geografis.

Baca juga: Krisis Iklim, 2024 Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah

Dalam sistem ekonomi global yang saling terkait, gangguan di satu titik bisa berdampak hingga ribuan kilometer jauhnya.

Bukan Akhir, tapi Awal untuk Bertindak

Yang menarik dari riset ini adalah pendekatan baru yang lebih realistis dan komprehensif. Neal dan timnya menggunakan skenario yang mempertimbangkan realitas mutakhir — bukan lagi sekadar teori atau asumsi masa lalu. Mereka juga mengakui bahwa masih banyak variabel yang belum masuk dalam kalkulasi, seperti adaptasi teknologi, migrasi penduduk, hingga perubahan perilaku konsumen.

Artinya, estimasi 40 persen penurunan GDP global bisa jadi masih konservatif.

“Pesan penting dari temuan ini adalah kita harus lebih adaptif terhadap informasi baru jika ingin mengambil langkah terbaik untuk kepentingan bersama,” kata Neal.

Pelajaran untuk Indonesia

Bagi Indonesia, negara kepulauan yang tergantung pada sektor pertanian, perikanan, dan ekspor komoditas, peringatan ini bukan sekadar wacana global. Ini adalah panggilan nyata untuk memperkuat ketahanan iklim.

Baca juga: Studi Prediksi Arktik Alami Musim Panas Tanpa Es Laut pada 2027

Gangguan pasokan pangan akibat gagal panen, keterlambatan distribusi karena banjir di jalur logistik utama, atau volatilitas harga energi karena krisis global, semuanya bisa berdampak langsung pada ekonomi rumah tangga dan kebijakan fiskal nasional.

Pemerintah dan pelaku industri harus meninjau ulang strategi pembangunan. Transisi energi, perlindungan ekosistem, diversifikasi ekonomi, hingga investasi pada sistem transportasi dan distribusi yang tangguh terhadap iklim, menjadi semakin penting.

Waktunya Mengubah Narasi

Selama ini, kebijakan iklim sering kali dibenturkan dengan pertumbuhan ekonomi. Tapi riset ini justru membuktikan sebaliknya: mengabaikan iklim berarti menjerumuskan ekonomi ke jurang yang lebih dalam.

Saatnya narasi berubah. Aksi iklim bukan beban ekonomi, tapi investasi jangka panjang. Dan dalam dunia yang makin panas, mereka yang bersiap hari ini adalah yang akan bertahan esok hari.

Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *