COP16 Riyadh, Rangkaian Kegagalan Perundingan Global di Tahun Krisis

COP16 Riyadh: Tantangan geopolitik dalam negosiasi global yang gagal atasi krisis kekeringan. Foto: X/ @Spa_Eng.

TAHUN 2024 menjadi saksi rangkaian kegagalan perundingan global dalam menangani isu-isu mendesak perubahan iklim dan keberlanjutan. Setelah COP29 UNFCCC di Baku gagal menghasilkan kesepakatan finansial iklim, giliran Konferensi Para Pihak ke-16 (COP16) Konvensi PBB Melawan Penggurunan (UNCCD) di Riyadh, Arab Saudi, berakhir tanpa kesepakatan protokol kekeringan.

Negosiasi yang berlangsung sejak 2 Desember ini molor hingga Sabtu, 14 Desember 2024, namun tetap menemui jalan buntu. Para delegasi dari 196 negara ditambah Uni Eropa tidak berhasil menyetujui mekanisme global yang mengikat untuk menghadapi krisis kekeringan.

Harapan yang Bertepuk Sebelah Tangan

Sekretaris Eksekutif UNCCD, Ibrahim Thiaw, dalam pidatonya sebelum penutupan, menyampaikan bahwa dunia sangat membutuhkan keputusan berani untuk membalikkan dampak bencana kekeringan, salah satu ancaman lingkungan paling luas dan merusak. Namun, Thiaw akhirnya mengakui bahwa para negosiator memerlukan waktu lebih banyak untuk menyepakati langkah-langkah konkret ke depan.

“Krisis ini mendesak, tetapi lanskap geopolitik saat ini mempersulit upaya kita untuk mencapai kesepakatan,” ujar Thiaw.

Baca juga: Krisis Iklim, 2024 Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah

Hasil dari COP16 Riyadh mencerminkan pola yang sama dengan konferensi lainnya tahun ini. COP29 UNFCCC di Baku gagal mencapai konsensus soal pendanaan iklim. Sementara itu, perundingan tentang polusi plastik di Korea Selatan dan keanekaragaman hayati di Kolombia juga berakhir tanpa solusi konkret.

Krisis Kekeringan yang Semakin Mendalam

Laporan terbaru PBB menunjukkan bahwa kekeringan, yang sebagian besar dipicu oleh aktivitas manusia, telah merugikan ekonomi global lebih dari 300 miliar dolar AS. Pada tahun 2050, sekitar 75 persen populasi dunia perkiraannya akan terdampak oleh kekeringan.

Baca juga: Tanah Mengering, 3/4 Bumi Menuju Kekeringan Permanen

Negara-negara Afrika, yang paling rentan terhadap dampak ini, datang ke Riyadh dengan harapan besar akan protokol kekeringan yang mengikat. “Ini pertama kalinya saya melihat Afrika begitu bersatu dalam negosiasi internasional,” kata salah satu delegasi dari Afrika kepada media.

Baca juga: Ketimpangan Dana Iklim vs. Proyek Perusak di COP29

Namun, hambatan datang dari negara-negara maju yang cenderung menolak perjanjian yang mengikat secara hukum. Situasi ini juga diperparah oleh ketegangan geopolitik yang merusak semangat kolektif di forum internasional.

Para delegasi COP16 di Riyadh mengakhiri konferensi tanpa kesepakatan protokol kekeringan, mencerminkan tantangan besar negosiasi global di tengah krisis iklim. Foto: X/ @Spa_Eng.

Jalan Terjal Negosiasi Global

Direktur Eksekutif International Institute for Environment and Development, Tom Mitchell, menyoroti bahwa proses COP kini menghadapi tantangan lebih besar dibandingkan sebelumnya. “Lanskap geopolitik yang terpecah menjadi batu sandungan besar bagi keberhasilan negosiasi global,” kata Mitchell.

Baca juga: Ketimpangan Dana Iklim vs. Proyek Perusak di COP29

Pergeseran kekuatan global, ketegangan antarblok, serta prioritas nasional yang berbeda semakin mempersulit upaya untuk mencapai kesepakatan. Beberapa negara berkembang bahkan merasa suara mereka mulai diabaikan dalam forum internasional.

COP16, 12 hari yang luar biasa namun berujung buntu.
Pendanaan dan Tanggung Jawab Kolektif

Meskipun COP16 Riyadh gagal mencapai protokol kekeringan, beberapa janji pendanaan muncul dalam pekan pertama konferensi. Janji senilai 12 miliar dolar AS diumumkan untuk mengatasi kekeringan, memulihkan lahan, dan mencegah degradasi lebih lanjut. Arab Coordination Group menjadi penyumbang terbesar, menjanjikan 10 miliar dolar AS.

Baca juga: Mahkamah Internasional Kaji Tanggung Jawab Negara Atasi Krisis Iklim 

Namun, janji pendanaan ini dinilai tidak cukup untuk mengatasi skala permasalahan. Butuh investasi global sebesar 2,6 triliun dolar AS untuk memulihkan 1,5 miliar hektar lahan terdegradasi sebelum akhir dekade ini, menurut UNCCD.

Menuju COP17 di Mongolia

Tanpa protokol kekeringan, para pihak sepakat untuk melanjutkan diskusi dalam COP17 yang akan berlangsung di Mongolia pada 2026. Namun, penundaan ini menimbulkan kekhawatiran di tengah para pemerhati keberlanjutan.

Praveena Sridhar dari Save Soil mengatakan, “Tidak adanya protokol tidak boleh menjadi alasan untuk memperlambat langkah. Sistem peringatan dini dan rencana respons harus tetap diimplementasikan.”

Baca juga: Komitmen Iklim COP29, Awal Baru atau Sekadar Retorika?

Rangkaian kegagalan perundingan global tahun ini menjadi pengingat bahwa dunia membutuhkan pendekatan baru dalam menangani krisis lingkungan. Tanpa perubahan mendasar dalam cara negosiasi internasional, tantangan keberlanjutan yang mendesak ini hanya akan menjadi beban yang semakin berat bagi generasi mendatang. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *