
Oleh: Hamdani S Rukiah, S.H, M.H.
PERNYATAAN Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, bahwa institusinya kini memanfaatkan media sosial dan kecerdasan buatan (AI) untuk mengintip potensi harta warga negara, adalah sinyal penting. Ini bukan sekadar pendekatan baru perpajakan, melainkan lompatan paradigma, dari laporan keuangan ke deteksi digital. Dari pelaporan formal ke pemantauan algoritmik.
Dalam konteks hukum, ini menarik. Negara kini masuk lebih dalam ke ranah ekspresi digital masyarakat. Apa yang dulu dianggap sebagai gaya hidup atau kebanggaan personal, seperti memamerkan tas mewah, liburan eksklusif, atau koleksi kendaraan mahal, berubah menjadi objek potensial penelusuran hukum dan fiskal.
Ketika Ekspresi Menjadi Alat Deteksi
Pemerintah tentu punya dasar. Salah satunya adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Pasal-pasal dalam UU ini memungkinkan aparat menelusuri dan membekukan aset yang dicurigai berasal dari tindak pidana, termasuk jika ada pemicu awal berupa ketidaksesuaian antara gaya hidup dan profil ekonomi seseorang.
Baca juga: AI Melaju, Hukum Masih Tertinggal: Jangan Ulangi Tragedi Robot Trading
Dalam penyelidikan pencucian uang, indikator seperti flexing bukanlah bukti hukum, tetapi cukup sebagai “red flag”. Dengan bantuan teknologi AI, indikator ini bisa berkembang menjadi peta dugaan yang lebih sistematis. Pemeriksaan bisa mengarah pada rekening, transaksi properti, hingga laporan pajak.
Masalahnya Bukan pada Pengawasan, tapi Prosedur
Namun, dalam sistem negara hukum, niat baik tidak boleh mengenyampingkan prinsip hukum. Hanya karena seseorang tampil mencolok di media sosial, bukan berarti otomatis bersalah. Hak privasi, praduga tak bersalah, dan independensi proses hukum tetap harus dijaga.

Di sinilah pentingnya peran hakim. Viral tidak boleh menjadi dasar dakwaan. Popularitas kasus tidak boleh mengaburkan pembuktian. Hakim mesti tetap berpegangan pada asas hukum, bukan pada opini warganet.
Peran Mahkamah Agung dan Etika Peradilan
Sebagai lembaga yudikatif tertinggi, Mahkamah Agung (MA) memikul tanggung jawab moral dan institusional untuk memastikan bahwa para hakim tidak terjebak pada “tekanan publik digital”. Kasus-kasus dengan eksposur tinggi justru menguji integritas peradilan.
Baca juga: Perampok Berkelit Jadi Pencuri: Pelajaran Hukum dari The Diamond Heist
MA perlu terus melakukan pembinaan etik dan peningkatan sensitivitas terhadap perkara-perkara berisiko viral. Penilaian hukum harus tetap berangkat dari alat bukti yang sah, bukan dari unggahan viral atau tekanan media sosial.
Jangan Terjebak Paranoia Digital
Pemerintah dan aparat penegak hukum punya kewajiban memastikan keadilan, termasuk dalam konteks ekonomi. Namun, masyarakat juga perlu memahami batas-batas ekspresi digitalnya. Flexing bukan tindak pidana, tetapi bisa memicu pemeriksaan jika tidak diimbangi transparansi harta.
Kita tidak sedang diawasi seperti dalam distopia George Orwell. Tapi, kita juga tidak bisa lagi menganggap media sosial sebagai ruang privat. Jejak digital meninggalkan pola. Dan algoritma, kini, punya daya lacak yang bisa melampaui mata manusia.
Flexing itu sah. Tapi di tengah meningkatnya ketimpangan dan kewaspadaan fiskal, bijak dan jujur adalah jalan terbaik. Karena di era ini, unggahan mewah bukan hanya memancing like, tapi juga bisa mengetuk pintu hukum. ***
* Hamdani S Rukiah adalah praktisi media dan pemerhati hukum, aktif menulis isu-isu hukum digital, kebijakan publik, dan etika peradilan.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.