
SELAMA lebih dari empat dekade, Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (NOAA) menjadi rujukan utama dalam menghitung kerugian akibat bencana cuaca ekstrem. Namun kini, dunia kehilangan salah satu sistem peringatan dini terpentingnya.
NOAA resmi menyatakan akan berhenti memperbarui Billion-Dollar Weather and Climate Disasters Database, yang sebelumnya mencatat dampak finansial dari peristiwa seperti badai, kebakaran hutan, hingga banjir besar. Alasan penghentian ini bukan karena bencana berkurang. Justru sebaliknya. Keputusan itu muncul akibat pemangkasan anggaran besar-besaran dan pengurangan staf oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.
Langkah ini memantik kritik tajam dari kalangan ilmuwan dan pembuat kebijakan. Mereka menilai, data yang dihentikan itu sangat penting untuk memahami tren kerusakan dan memperkuat kebijakan adaptasi iklim di masa depan.
“Pemerintah ini berpikir bahwa jika mereka berhenti mengidentifikasi perubahan iklim, maka krisisnya juga akan hilang,” ujar Anggota DPR dari Illinois, Eric Sorensen, mengutip ecowatch. Pernyataannya mencerminkan frustrasi terhadap politik iklim yang tak berpihak pada ilmu pengetahuan.
Baca juga: AS Mundur dari Perjanjian Paris, Dampak bagi Iklim dan Indonesia
Bencana Terus Terjadi, tapi Tak Tercatat
Faktanya, sepanjang 2025, para ilmuwan di NOAA memperkirakan sudah terjadi enam hingga delapan bencana cuaca besar. Termasuk kebakaran hutan masif di Los Angeles yang menyebabkan kerusakan sekitar 150 miliar dolar AS—terbesar sepanjang sejarah Amerika. Namun anehnya, situs resmi NOAA mencatat nol bencana bernilai miliaran dolar hingga April 2025.
Baca juga: Jejak Emisi Perusahaan Energi Fosil Sebabkan Kerugian Rp 471 Kuadriliun
Ironisnya, bencana-bencana ini tidak akan lagi tercatat secara resmi. Tidak ada data yang diperbarui. Tidak ada angka untuk dianalisis. Tidak ada basis untuk membuat kebijakan berbasis risiko.

Data yang Tak Tergantikan
Jeremy Porter dari firma pemodelan risiko iklim First Street menyebut keputusan ini sebagai kemunduran besar. Menurutnya, basis data tersebut tidak tergantikan karena menghimpun informasi dari FEMA, lembaga negara bagian, hingga perusahaan reasuransi. “Itu bukan data yang bisa dengan mudah direplikasi oleh peneliti independen,” tegasnya.
Dampaknya lebih dari sekadar statistik yang hilang. Ini soal arah masa depan mitigasi bencana. Tanpa data, para pembuat kebijakan dan masyarakat luas tak memiliki tolok ukur yang jelas dalam menilai dampak perubahan iklim.
Baca juga: Kurangi Emisi, Atau Dunia Tak Lagi Bisa Diasuransikan
Jeff Masters, meteorolog dari Yale Climate Connections, menyebut basis data NOAA sebagai “standar emas” dalam pelacakan kerugian bencana. Tidak ada alternatif setara yang tersedia saat ini.
Krisis Iklim Tak Bisa Dibungkam
Di tengah kabar ini, intensitas cuaca ekstrem terus meningkat. Badai Milton, gelombang panas ekstrem, dan kebakaran di California menjadi pengingat nyata bahwa krisis iklim bukan ilusi. Data dibutuhkan, bukan diabaikan.
Baca juga: PBB: Krisis Iklim Semakin Parah, Dunia Harus Bertindak Sekarang
“Peristiwa cuaca ekstrem adalah bukti paling nyata bagi masyarakat bahwa perubahan iklim sedang terjadi,” kata Kristina Dahl dari Climate Central. Ia menekankan, data bukan hanya soal angka, tetapi soal empati, ketangguhan, dan keadilan iklim.
Ketika bencana menjadi makin mahal dan makin sering, langkah mundur Amerika ini seolah menghapus kompas yang selama ini menuntun dunia membaca arah badai. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.