Dinamika Pajak Karbon Indonesia: Ambisi Besar, Langkah Tertahan

Pabrik yang menghasilkan emisi karbon, menjadi fokus utama dalam penerapan pajak karbon yang terus dikaji oleh pemerintah Indonesia. Foto: Ilustrasi/ Natalie Dmay/ Pexels.

INDONESIA, sebagai salah satu negara dengan komitmen kuat dalam pengurangan emisi karbon, terus mengalami tarik ulur dalam penerapan pajak karbon. Rencana ini awalnya dijadwalkan mulai berlaku pada April 2022, namun hingga kini, kebijakan tersebut belum kunjung diterapkan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pemerintah masih terus mempersiapkan berbagai aspek yang diperlukan agar pajak karbon dapat diimplementasikan secara efektif.

“Kami terus menyiapkan landasan hukum dan regulasi yang diperlukan, serta memastikan kesiapan ekonomi dan industri sebelum pajak karbon diberlakukan,” ungkap Sri Mulyani dalam pernyataannya di Djakarta Theater, Sabtu (24/8/2024).

Pajak karbon, yang merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), sebenarnya dirancang sebagai instrumen fiskal untuk mengontrol emisi karbon melalui mekanisme pasar karbon yang sudah mulai beroperasi di Indonesia.

Baca juga: Bursa Karbon Indonesia, Jalan Menuju Masa Depan Hijau

Pasar karbon ini memungkinkan pelaku industri untuk melakukan cap and trade, sebuah mekanisme yang bertujuan mengurangi emisi dengan memberikan insentif bagi industri yang berhasil menurunkan tingkat emisinya.

Tantangan Penerapan Pajak Karbon

Namun, penerapan pajak karbon terus ditunda. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, pernah menjelaskan bahwa penundaan ini salah satunya disebabkan oleh masih berlangsungnya kajian terhadap regulasi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM).

CBAM adalah instrumen yang dikenakan oleh Uni Eropa terhadap produk impor yang proses produksinya dianggap menimbulkan emisi karbon tinggi.

“Pemerintah masih mengkaji skema CBAM yang diterapkan oleh Eropa. Instrumen ini dapat membuka peluang bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki ambisi besar dalam transisi energi. Namun, perlu dipastikan bahwa instrumen tersebut memberikan fleksibilitas yang cukup bagi negara berkembang untuk beradaptasi dan mengoptimalkan potensi energi terbarukan mereka,” jelas Airlangga.

Baca juga: Ini Negara-negara Pionir Pajak Karbon di Dunia

Pemerintah Indonesia tampaknya berhati-hati dalam melangkah. Selain memastikan kesiapan regulasi domestik, pemerintah juga perlu mempertimbangkan dinamika global yang sedang berkembang. Terutama, terkait dengan kebijakan-kebijakan baru yang muncul di Eropa dan negara-negara maju lainnya.

Denmark sebagai Pionir Global

Di sisi lain, dunia mulai menyoroti Denmark yang siap menjadi negara pionir dalam penerapan pajak karbon secara global.

Denmark, yang dikenal dengan komitmennya terhadap energi terbarukan, berencana menerapkan pajak karbon pada tahun 2030.

Baca juga: Denmark Pionir Pajak Karbon Peternakan Mulai 2030

Langkah ini tidak hanya menegaskan posisinya sebagai pemimpin dalam transisi energi, tetapi juga memberikan contoh bagi negara lain dalam mengimplementasikan kebijakan fiskal yang berkelanjutan.

Dalam konteks ini, Indonesia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk segera mengimplementasikan pajak karbon guna menekan emisi dan memenuhi komitmen iklim.

Namun di sisi lain, ada tantangan besar terkait kesiapan regulasi, industri, dan juga penyesuaian dengan kebijakan internasional yang sedang berkembang. Sehingga, keputusan Indonesia dalam hal ini akan sangat menentukan arah kebijakan lingkungan dan ekonomi negara di masa depan. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *