Emas ‘Ampon’ Aceh di Puncak Monas

Monas, landmark bersejarah Jakarta, dihiasi lidah api berlapis emas yang melambangkan semangat perjuangan rakyat Indonesia. Foto: Instagram @monumen.nasional.

MONUMEN NASIONAL, atau Monas, telah lama menjadi ikon Jakarta. Pada peringatan HUT ke-497 Jakarta kali ini, mari kita menelusuri cerita menarik di balik emas yang menghiasi puncak Monas.

Emas tersebut adalah sumbangan dari seorang saudagar kaya raya asal Aceh, Teuku Markam, yang berjaya di era Presiden Soekarno namun mengalami nasib tragis di masa pemerintahan Soeharto.

Monas: Simbol Perjuangan dan Identitas Jakarta

Monas dengan ketinggian 115 meter memungkinkan pengunjung untuk melihat pemandangan kota Jakarta sejauh mata memandang. Di atasnya, terdapat lidah api kemerdekaan, simbol semangat juang rakyat Indonesia seperti api yang tak pernah padam, yang terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton dan dilapis lembaran emas seberat 50 kg.

Monumen Nasional tidak hanya menjadi landmark bersejarah, tetapi juga lambang semangat perjuangan rakyat Indonesia. Berdasarkan informasi dari akun Instagram resmi Monumen Nasional (@monumen.nasional), lidah api tersebut mengandung 50 kg emas, dimana 28 kg di antaranya berasal dari Teuku Markam.

Teuku Markam: Dari Militer ke Pengusaha Sukses

Teuku Markam adalah keturunan bangsawan Aceh. ‘Teuku’, gelar untuk darah biru Aceh, juga sering disebut ‘Ampon’ di Tanah Rencong. Lahir di Seunuddon, Aceh Utara, pada tahun 1925, ‘Ampon’ Markam memulai kariernya sebagai anggota militer. Setelah keluar dari dinas militer, ia beralih ke dunia bisnis dengan mendirikan pabrik kulit bernama Karkam.

Ketika itu, dunia bisnis di Indonesia masih jarang diminati, sehingga usahanya cepat berkembang. Melalui usaha ekspor-impor besi beton dan part baja, Markam menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia pada masa awal kemerdekaan.

Sumbangsih untuk Pembangunan Indonesia

Selain sumbangan emas untuk Monas, Teuku Markam juga berperan besar dalam pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Salah satu proyeknya adalah pembangunan Jalan Medan-Banda Aceh yang didanai oleh Bank Dunia.

Menurut kanal YouTube Tukang Kliping, Markam juga berperan penting dalam pembebasan lahan untuk pembangunan kompleks olahraga di Senayan.

Tidak hanya itu, Teuku Markam juga menjadi investor utama dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika, sebuah forum penting yang membantu banyak negara terjajah meraih kemerdekaan. Pada masa itu, nama Teuku Markam sangat dihormati sebagai sahabat dekat Presiden Soekarno.

Teuku Markam. Foto: Youtube @Tukang Kliping.
Kejatuhan di Era Orde Baru

Namun, nasib baik tidak selalu berpihak pada Teuku Markam. Setelah Soekarno lengser, Markam mengalami masa sulit di era Presiden Soeharto. Ia dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dipenjara tanpa proses peradilan yang jelas pada tahun 1966.

Tuduhan tersebut membuatnya dipindahkan ke beberapa rumah tahanan, hingga akhirnya ditempatkan di Tahanan Nirbaya, Pondok Gede, Jakarta Timur pada tahun 1972.

Selama masa penahanannya, aset-aset Teuku Markam, termasuk perkantoran dan tanah, diambil alih oleh negara berdasarkan Keputusan Presiden No. 31 tahun 1974. Aset-aset tersebut kemudian dijadikan modal untuk PT. PP Berdikari.

Baca juga: Jakarta Rayakan HUT ke-497: Nikmati Tiket Gratis ke Monas

Akhir Hidup dan Warisan Teuku Markam

Setelah dibebaskan pada tahun 1974, Teuku Markam dan keluarganya menghadapi kesulitan dalam mengklaim kembali harta dan aset mereka yang telah diambil alih oleh negara. Meski begitu, yang paling menyakitkan adalah nama baiknya yang tidak pernah direhabilitasi.

Kisah Teuku Markam adalah cerminan perjuangan dan pengorbanan seorang saudagar yang tidak hanya berjasa dalam pembangunan fisik tetapi juga dalam memperjuangkan martabat bangsa.

Semoga melalui pengetahuan ini, kita dapat lebih menghargai kontribusi besar para pahlawan bangsa dalam membangun Indonesia. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *