
EROPA SELATAN tengah menghadapi musim panas yang tak biasa. Suhu melonjak tajam, menembus angka 40°C, memaksa warga lokal dan wisatawan mencari perlindungan dari teriknya cuaca. Dari Italia hingga Yunani, efek dari gelombang panas ini kian terasa, menyusup hingga ke ranah sosial, ekonomi, hingga keamanan lingkungan.
Di Portugal, dua pertiga wilayah berada dalam status siaga tinggi karena panas ekstrem dan risiko kebakaran hutan. Ibu kota Lisbon mencatat suhu hingga 42°C. Pemerintah mempersiapkan diri menghadapi potensi bencana, termasuk evakuasi darurat dan pembatasan aktivitas luar ruang.
Mengutip Independent UK, Italia mengambil langkah serupa. Wilayah seperti Lazio, Tuscany, dan Umbria bersiap melarang pekerjaan luar ruangan saat siang hari. Serikat pekerja mendesak aturan itu diterapkan secara nasional. Kementerian Kesehatan Italia bahkan menetapkan status siaga panas tertinggi untuk 21 dari 27 kota yang diawasi, termasuk Roma, Milan, dan Naples—tiga destinasi wisata utama.
Baca juga: Studi Prediksi Arktik Alami Musim Panas Tanpa Es Laut pada 2027
Wisatawan Terjebak dalam Terik
Di Roma, wisatawan berkumpul di bawah bayang-bayang bangunan bersejarah seperti Colosseum dan Air Mancur Trevi. Banyak yang mengandalkan payung dan air dari pancuran umum. Di Milan dan Naples, pedagang kaki lima sibuk menjual limun dingin untuk menyegarkan pengunjung yang kepanasan.
Baca juga: Gletser Dunia Meleleh, 2 Miliar Jiwa Terancam Krisis Air

Sementara itu, Yunani menghadapi risiko berulang: kebakaran hutan. Angin kencang memperparah situasi. Api berkobar di selatan Athena, memaksa evakuasi, menutup jalan-jalan utama, dan mengancam situs bersejarah seperti Kuil Poseidon. Beberapa pulau wisata juga memberlakukan pembatasan air karena suplai yang terbatas selama musim panas ekstrem ini.
Isyarat Krisis Iklim Global
Fenomena ini bukan sekadar peristiwa cuaca musiman. Ini adalah cermin dari perubahan iklim global yang semakin ekstrem. Wilayah selatan Eropa disebut-sebut akan menjadi salah satu titik panas krisis iklim, dengan suhu tinggi, kekeringan, dan kebakaran yang makin intens dan sering terjadi.
Baca juga: Krisis Iklim, Bagaimana Dunia Berubah dalam 2 Derajat?
Lonjakan suhu yang konsisten bukan hanya membahayakan keselamatan warga dan wisatawan, tetapi juga memberi tekanan besar pada sektor pariwisata, kesehatan publik, hingga pengelolaan sumber daya air. Dalam jangka panjang, daya tarik wisata bisa berubah menjadi zona risiko bencana.
Para ilmuwan memperingatkan bahwa gelombang panas seperti ini akan semakin menjadi “normal baru”. Tanpa mitigasi yang ambisius, suhu ekstrem dan kebakaran hutan akan terus merusak ekosistem dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Eropa dan dunia.
Kondisi ini menjadi pengingat penting bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk memperkuat ketahanan iklim. Adaptasi harus dilakukan sekarang, bukan nanti. Termasuk menata ulang kebijakan wisata, perencanaan kota, dan pengelolaan lingkungan agar mampu bertahan di tengah iklim yang makin tidak menentu. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.