Jejak Emisi Perusahaan Energi Fosil Sebabkan Kerugian Rp 471 Kuadriliun

Kilang minyak dan gas, penyumbang utama kerugian ekonomi Rp 471 kuadriliun akibat emisi gas rumah kaca. Foto: Ilustrasi/ Tom Fisk/ Pexels.
  • Kerugian Ekonomi Rp 471 Kuadriliun: Emisi dari 111 perusahaan energi fosil menyebabkan kerugian ekonomi global sebesar 28 triliun dollar AS (Rp 471 kuadriliun).
  • Perusahaan Energi Besar Bertanggung Jawab: Sebagian besar kerugian disebabkan oleh 10 perusahaan energi terbesar, termasuk Saudi Aramco dan Gazprom.
  • Peluang Tuntutan Hukum Baru: Studi ilmiah ini membuka peluang untuk menuntut pertanggungjawaban langsung dari perusahaan-perusahaan besar atas dampak perubahan iklim.

SEBUAH studi ilmiah terbaru mengungkapkan fakta mencengangkan: kerugian ekonomi global akibat perubahan iklim kini dapat ditelusuri langsung ke jejak emisi perusahaan energi fosil.

Dua ilmuwan dari Dartmouth College, Amerika Serikat, berhasil menghitung berapa besar kerugian yang ditimbulkan. Studi yang diterbitkan di Nature ini mengungkap, 111 perusahaan penghasil emisi terbesar bertanggung jawab atas kerugian ekonomi hingga 28 triliun dollar AS. Jika dikonversi, nilainya mencapai Rp 471 kuadriliun — jumlah yang sulit dibayangkan skalanya.

Jejak Emisi, Jejak Kerugian

Penelitian ini menghubungkan setiap 1 persen gas rumah kaca (GRK) yang dilepaskan sejak 1990 dengan kerugian sekitar 502 miliar dollar AS. Hebatnya, analisis ini fokus pada kerugian akibat suhu panas berlebih saja, belum menghitung dampak dari badai, banjir, atau kekeringan ekstrem.

Dari hasil kalkulasi, lebih dari separuh kerugian disebabkan hanya oleh 10 perusahaan. Nama-nama raksasa seperti Saudi Aramco, Gazprom, Chevron, ExxonMobil, BP, Shell, hingga Coal India muncul di daftar ini.

Baca juga: PBB Desak Pengalihan Subsidi Fosil untuk Energi Bersih

Aramco dan Gazprom bahkan dituding masing-masing menyebabkan kerugian lebih dari 2 triliun dollar AS. Dalam skala nasional, angka ini bisa menggerus PDB banyak negara berkembang hingga puluhan tahun ke depan.

Metode yang Solid, Bukti yang Kuat

Berbeda dari pendekatan umum yang bersifat makro, penelitian ini menggunakan pendekatan berbasis emisi spesifik.

Para peneliti melacak volume emisi dari produk seperti bensin dan listrik batu bara, lalu menjalankan 1.000 simulasi komputer untuk membandingkan dampaknya terhadap suhu Bumi. Simulasi tambahan juga dilakukan untuk mengukur kontribusi perusahaan terhadap lima hari terpanas dalam setahun.

Studi ilmiah: Perusahaan energi fosil bertanggung jawab atas kerugian ekonomi global Rp 471 Kuadriliun akibat emisi gas rumah kaca. Foto: Ilustrasi/ Michael Pointner/ Pexels.

Dari situ, tim menghubungkan intensitas panas ekstrem dengan hasil ekonomi, menggunakan metode berbasis termodinamika yang telah dikembangkan selama satu dekade terakhir.

“Pertanyaannya sederhana: siapa yang bertanggung jawab atas kerugian akibat perubahan iklim? Dan bisakah kita melacaknya?” kata Justin Mankin, salah satu penulis studi, dikutip dari Euronews. “Jawabannya: bisa.”

Konsekuensi Hukum dan Moral

Temuan ini mengubah peta perdebatan tentang tanggung jawab perusahaan terhadap krisis iklim.

Selama ini, diskusi global sering kali meluas dan abstrak, berbicara soal “manusia” atau “aktivitas industri” secara umum. Kini, dengan data baru ini, akuntabilitas bisa diarahkan lebih spesifik kepada entitas korporasi tertentu.

Baca juga: Transisi Energi Global: Maju di Sumber, Tertinggal di Emisi

Implikasinya besar. Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan bahkan individu korban bencana iklim kini memiliki dasar ilmiah lebih kuat untuk menuntut pertanggungjawaban hukum atau reparasi.

Sementara itu, sebagian besar perusahaan yang disebut — termasuk Shell, Aramco, Gazprom, Chevron, dan ExxonMobil — memilih bungkam ketika diminta tanggapan oleh Euronews.

Transparansi Jejak karbon

Bagi praktisi dan pemerhati keberlanjutan di Indonesia, studi ini memberi dua pelajaran penting. Pertama, urgensi untuk menuntut transparansi jejak karbon dari semua pelaku industri, lokal maupun global. Kedua, kebutuhan mendesak untuk memperkuat regulasi berbasis sains, tidak hanya imbauan moral.

Baca juga: Transisi Energi Indonesia, Antara Ambisi Global dan Realita Lokal

Indonesia, sebagai negara rentan terhadap perubahan iklim, tidak bisa lagi membiarkan perusahaan energi beroperasi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masa depan bangsa.

Kini, dengan bukti konkret tentang siapa yang menyebabkan kerusakan, pertanyaannya berubah: akankah dunia hanya mencatat data ini di jurnal-jurnal ilmiah, atau menggunakannya untuk memperjuangkan keadilan iklim sejati? ***

Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *