Kenapa Dunia Ngebet Bikin Matahari Buatan?

Ilmuwan bekerja di fasilitas riset berteknologi tinggi. Terobosan di bidang energi fusi membutuhkan investasi besar dan penguasaan teknologi ekstrem. Foto: Ilustrasi/ Pavel Danilyuk/ Pexels.

COBA bayangin, bikin listrik dari reaksi kayak di matahari. Nggak pakai bahan bakar fosil, nggak ada emisi karbon, dan limbah radioaktifnya nyaris nol. Kedengarannya futuristik? Memang. Tapi sekarang, makin banyak orang serius ingin mewujudkannya dan dananya tidak main-main.

Menurut survei terbaru dari Fusion Industry Association (FIA), investasi global buat teknologi energi fusi naik tajam. Selama setahun terakhir aja, ada suntikan dana lebih dari US$ 2,6 miliar alias sekitar Rp 42,3 triliun. Sejak 2021, total duit yang masuk udah hampir tembus US$ 9,8 miliar.

Tapi tunggu dulu, itu belum cukup.
Kenyataannya, butuh sekitar US$ 77 miliar lagi biar mimpi bikin pembangkit listrik fusi pertama benar-benar kejadian.

Duit Banyak, tapi Masih Belum Nyala

Saat ini ada 53 perusahaan di dunia yang lagi serius ngembangin teknologi fusi. Mayoritas dari mereka bilang, nyari dana itu tetap susah. Padahal mereka butuh minimal ratusan juta sampai miliaran dolar cuma buat bikin satu reaktor percontohan.

Baca juga: Saat Angin Menjadi Tanda Tanya Masa Depan Energi

Survei FIA juga nunjukin, 83% perusahaan masih merasa kesulitan cari investor. Artinya, meskipun duit sudah mulai mengalir, belum ada jaminan teknologi ini bakal langsung bisa dipakai.

AI dan Data Center Bikin Permintaan Energi Makin Gila

Salah satu alasan kenapa fusi mulai naik daun lagi adalah karena kebutuhan energi makin tinggi. Apalagi buat ngasih makan pusat data dan kecerdasan buatan (AI) yang sekarang makin rakus daya. Google bahkan udah deal buat beli energi dari Commonwealth Fusion di Virginia, targetnya mulai dipakai sekitar awal 2030-an.

Baca juga: Pohon Angin, Inovasi Energi Terbarukan di Tol Probolinggo-Banyuwangi

Visual imajinatif tentang masa depan energi bersih. Mungkinkah kota kita nanti ditenagai oleh ‘matahari buatan’? Foto: Ilustrasi/ Google DeepMind/ Pexels.

Investor gede juga mulai masuk. dari Shell, Chevron, sampai Siemens Energy dan Nucor (produsen baja terbesar di AS).
Kelihatan sih, fusi makin seksi di mata para pemodal.

Fusi = Energi Bersih (Kalau Teknologinya Jalan)

Fusi beda dengan energi nuklir yang biasa (fisi). Kalau fisi bisa ninggalin limbah radioaktif ribet dan bahaya, fusi jauh lebih bersih. Reaksi ini bisa hasilin energi gede tanpa nambah emisi rumah kaca.

Baca juga: Tak Perlu BBM, Sulawesi hingga Timor Bisa Hidup dari Energi Alam

Masalahnya, proses fusi di Bumi nggak semudah di matahari. Di sini, ilmuwan masih harus pakai laser superkuat atau magnet raksasa buat bikin atom-atom ringan bisa nyatu. Dan itu semua butuh energi besar dulu sebelum bisa hasilin energi balik. Ironis, ya?

Indonesia Nggak Boleh Cuma Nonton

Sekarang, mayoritas perkembangan fusi ada di AS, Eropa, Jepang, dan China. Tapi, Indonesia nggak bisa cuma jadi penonton. Dengan target net zero emissions 2060 dan kebutuhan listrik yang terus naik, kita butuh langkah berani: masuk ke riset, bikin kolaborasi internasional, dan siapin SDM.

Kalau nggak sekarang, kapan lagi? ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *