Ketika Jakarta Mulai Serius Mengukur Polusi Udara

Salah satu Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) di Jakarta. Data yang dihasilkan bisa diakses melalui aplikasi JAKI dan situs resmi udara.jakarta.go.id. Foto: Instagram/ @dinaslhdki.

Langit Jakarta memang belum biru. Tapi, kini warga bisa melihat dengan jelas seberapa buruk udara yang mereka hirup—secara real-time.

PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta melangkah lebih jauh dalam penanganan polusi udara. Sebanyak 111 Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) telah dipasang di berbagai sudut kota. Tak sekadar alat, SPKU kini menjadi jendela data yang terbuka bagi semua orang.

Cukup buka aplikasi JAKI (Jakarta Kini) atau akses situs udara.jakarta.go.id, warga bisa langsung memantau kondisi udara di sekitarnya. Informasi ini disajikan dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)—angka yang menunjukkan kualitas udara berdasarkan dampaknya terhadap kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.

Data Tak Lagi Diam

Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto, sistem ini bukan hanya alat ukur, tapi juga panduan aksi. “Warga bisa tahu kapan harus membatasi aktivitas di luar ruangan, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia,” ujarnya.

Fitur dalam JAKI bukan hanya menunjukkan tingkat polusi, tetapi juga peta lokasi sensor secara geospasial, warna indeks harian, dan bahkan rekomendasi tindakan saat kualitas udara memburuk.

Baca juga: Dua Ancaman tak Terlihat di Kota, Polusi dan Kebisingan Picu Stroke

Langkah ini mencerminkan komitmen Jakarta menuju transparansi dan keterlibatan publik berbasis data. Bukan lagi sekadar menebak dari warna langit atau iritasi di tenggorokan.

Antara Validitas dan Literasi

Namun, akurasi data menjadi isu penting. Banyak platform swasta seperti IQAir juga menyediakan informasi serupa. Bedanya, sebagian sensor di platform tersebut dipasang oleh individu, bukan lembaga resmi.

“Setiap negara punya standar dan konteks lokal sendiri. Data resmi pemerintah penting untuk dijadikan rujukan,” kata Direktur Indonesia untuk Clean Air Asia, Ririn Radiawati Kusuma.

Baca juga: Menyingkap Hubungan Polusi dan Depresi di Tengah Kota

Ia mengingatkan, sensor independen tak selalu menjalani kalibrasi berkala atau validasi data. Karena itu, perbandingan boleh saja, tapi keputusan akhir tetap sebaiknya merujuk ke sistem nasional yang terstandar.

Udara Bersih, Tanggung Jawab Kolektif

Kehadiran SPKU adalah langkah maju. Tapi teknologi tidak bekerja sendiri. Ia membutuhkan dukungan dari gaya hidup masyarakat dan kebijakan lintas sektor.

“Kalau warga masih memilih kendaraan pribadi daripada transportasi publik, atau masih melakukan pembakaran sampah terbuka, data kualitas udara tak akan banyak berarti,” ujar Ririn.

Baca juga: Kanker Paru di Era Polusi, Non-Perokok pun Tak Lagi Aman

Jakarta, sebagai ibu kota sekaligus pusat ekonomi, punya peluang menjadi pionir kota berkelanjutan. Upaya ini bisa menjadi pemantik bagi kota-kota lain di Indonesia untuk membangun sistem pemantauan udara yang inklusif dan partisipatif.

Menuju Masa Depan yang Lebih Transparan

Kini, polusi bukan lagi isu yang tak terlihat. Ia hadir dalam angka, warna, dan peta. Warga bisa bertindak berdasarkan data. Dari memilih waktu olahraga hingga melindungi anak-anak dari paparan partikel mikro yang berbahaya.

Baca juga: Biaya Polusi Udara Jakarta: Rp52 Triliun per Tahun

Dalam jangka panjang, data dari SPKU bisa jadi sumber penting untuk merumuskan kebijakan yang berbasis bukti—mulai dari regulasi kendaraan hingga insentif bagi industri ramah lingkungan.

Pemasangan 111 alat pantau ini adalah awal. Sebuah fondasi menuju kota yang menghargai udara bersih sebagai hak, bukan kemewahan. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *