
DALAM satu kali swipe, kamu bisa menemukan senyum manis, bio menarik, bahkan percakapan yang terasa nyambung. Tapi kenapa setelah itu, banyak yang justru merasa kosong?
Aplikasi seperti Tinder, Bumble, dan Tantan memang menjadi bagian dari kehidupan digital Gen Z. Survei Pew Research Center (2023) mencatat bahwa hampir separuh pengguna Gen Z di AS pernah menggunakan aplikasi kencan. Di Indonesia, data dari App Annie menunjukkan lonjakan unduhan aplikasi serupa sejak pandemi.
Namun, semakin mudah bertemu, semakin sulit terhubung secara emosional. Psikolog klinis Tara Porter menyebut fenomena ini sebagai “ilusi keintiman”. Ia mengatakan, “Aplikasi menciptakan rasa kedekatan yang cepat, padahal hubungan yang sehat memerlukan proses, bukan algoritma.”
Dari DM ke Dilema, Kenapa Hubungan Makin Rumit?
DM yang panjang, emoji yang manis, panggilan larut malam—semuanya terasa menjanjikan. Tapi ketika bertemu langsung, seringkali terasa… hambar.
Fenomena ini dikenal sebagai emotional mismatch. Studi dalam Journal of Social and Personal Relationships (2021) menjelaskan bahwa komunikasi digital yang terlalu cepat bisa membangun ekspektasi emosional tanpa dasar yang kuat.
Seorang pakar komunikasi menjelaskan, “Hubungan yang dibentuk di ruang digital sering kali kehilangan kedalaman. Orang cenderung menampilkan versi terbaiknya, bukan yang sebenarnya.”
Hal ini juga menciptakan budaya ghosting—tiba-tiba menghilang tanpa kabar—yang menjadi gejala umum dalam hubungan daring. “Karena semuanya instan, maka memutus juga jadi instan,” ujar pakar tersebut.

Cinta Zaman Sekarang, Harus Sepraktis Itu?
Gen Z dikenal adaptif, cepat belajar, multitasking, dan serba digital. Tapi justru itulah tantangannya: cinta jadi seperti konten—harus singkat, menarik, dan gampang diganti.
Namun, kini mulai muncul kesadaran baru. Gerakan seperti slow dating dan intentional connection mulai digemari. Beberapa anak muda memilih berhenti sejenak dari aplikasi dan mulai mencari relasi yang lebih organik—melalui komunitas, hobi, atau bahkan pertemuan offline yang tak direncanakan.
“Relasi bukan soal banyaknya match, tapi seberapa nyambung hati dan nilai,” kata Gilang, 24 tahun, pengguna aplikasi kencan yang kini memilih jalur slow dating. Ia menambahkan, “Aku mulai sadar, koneksi itu bukan soal ‘klik’, tapi soal tumbuh bersama.”
Media sosial dan aplikasi kencan tak salah. Ia hanya alat. Tapi jika alat itu justru menjauhkan dari makna, mungkin sudah waktunya bertanya ulang: apakah kita mencari cinta atau hanya validasi?
Karena cinta yang sesungguhnya, seperti kata orang tua dulu, mungkin tak bisa ditemukan dalam satu swipe. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.