
Oleh: Hamdani S Rukiah
(Pemimpin Redaksi mulamula.id)
BEBERAPA waktu lalu, Mark Zuckerberg mengatakan bahwa era jejaring sosial telah berakhir. Bagi saya, ini bukan sekadar pernyataan bisnis. Ini adalah pengakuan historis: bahwa media sosial, seperti yang dulu kita kenal, memang sudah tamat.
Media sosial hari ini bukan tentang kita. Ia bukan lagi ruang interaksi, tapi arena distribusi. Bukan tempat bertemu, tapi tempat bersaing. Setiap pengguna adalah pembuat konten, setiap unggahan adalah performa, dan setiap interaksi diukur dalam angka—bukan rasa.
Mari kita lihat ke belakang. Facebook, Twitter, hingga Instagram dulu menjadi tempat orang bercerita. Tentang keseharian, tentang keluarga, tentang perasaan. Ada obrolan hangat, ada empati, ada ruang untuk gagal dan jujur.
Kini? Feed kita penuh dengan video viral, iklan, dan konten dari akun tak dikenal. Kita terhubung, tapi tidak saling mengenal.
Ketika Algoritma Menentukan Siapa yang Didengar
Perubahan ini tak datang tiba-tiba. Ia perlahan dimulai ketika algoritma mengambil alih. Konten yang memicu reaksi, emosi, atau perdebatan lebih diutamakan daripada kabar teman. Platform berubah dari social network menjadi attention machine. Tujuan utamanya bukan lagi membangun komunitas, tapi mempertahankan atensi. Semakin lama kita menggulir layar, semakin baik bagi bisnis mereka.
Baca juga: Dari Jejaring ke Sorotan, Perjalanan Media Sosial yang Kian Asing
Lalu muncullah istilah “content creator.” Siapa pun bisa menjadi publik figur. Tapi di balik demokratisasi ini, ada tekanan yang tak terlihat. Tekanan untuk selalu tampil bahagia, sukses, menarik. Orang tidak lagi hadir apa adanya. Kita membentuk versi digital dari diri kita—dan lama-kelamaan, kita pun percaya bahwa itu nyata.
Saya percaya media sosial tidak benar-benar mati. Tapi ruhnya telah berpindah. Dari relasi ke reaksi. Dari komunitas ke konsumsi. Dari ruang aman ke panggung pertunjukan.
Saatnya Membangun Ruang Sosial yang Baru
Yang menyedihkan adalah: sebagian besar pengguna tidak sadar akan perubahan ini. Kita masih mengira kita bersosialisasi, padahal kita sedang berkompetisi. Kita merasa terhubung, padahal kita hanya terdampak. Kita berkomunikasi, tapi tak saling mendengar.
Baca juga: Ketika Media Sosial Tak Lagi Sosial: Algoritma, Influencer, dan Krisis Koneksi
Apa yang bisa dilakukan? Kita tidak bisa sepenuhnya kembali ke masa lalu. Tapi, kita bisa menciptakan ruang digital yang lebih manusiawi. Mungkin di grup kecil, komunitas privat, atau bahkan lewat blog dan newsletter. Kita bisa membangun ulang jejaring—dalam skala yang lebih kecil, lebih jujur, dan lebih hangat.
Karena pada akhirnya, jejaring sosial bukan soal platform. Ia soal kebutuhan dasar manusia untuk dimengerti, didengar, dan terhubung. Kalau media sosial gagal memenuhi itu, mungkin kita memang harus menyebutnya: tamat.
Tapi, bukan berarti kita ikut mati.
Kita masih bisa saling hadir—di ruang mana pun yang memungkinkan kita menjadi manusia seutuhnya. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.