TAHUN 2024 mencatatkan sejarah sebagai tahun terpanas, dengan suhu rata-rata global melampaui ambang batas 1,5°C dari level praindustri. Di tengah ancaman perubahan iklim yang semakin nyata, dunia terus mencoba mencari solusi melalui berbagai perundingan internasional. Sayangnya, meski ada sejumlah inisiatif penting, hasil yang diharapkan masih jauh dari kata memadai.
Perundingan Perubahan Iklim di COP29
Konferensi Iklim PBB COP29 yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, membawa secercah harapan bagi negara berkembang. Hampir 200 negara sepakat menggandakan pendanaan iklim, dengan komitmen dari negara maju untuk menyediakan US$300 miliar per tahun hingga 2035 melalui pembiayaan publik dan multilateral. Total target pendanaan mencapai US$1,3 triliun per tahun melalui kolaborasi dengan sektor swasta.
Baca juga: COP29: Janji Iklim, Ketimpangan, dan Masa Depan Transisi Hijau
Namun, optimisme itu memudar ketika beberapa komitmen utama gagal dicapai, seperti percepatan transisi energi dari bahan bakar fosil. Perwakilan iklim Panama, Juan Carlos Monterrey-Gomez, menyebut upaya membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C “sudah mati.” Sementara itu, ketegangan dalam negosiasi mencerminkan lemahnya sistem multilateral dalam menghadapi krisis iklim global.
Polusi Plastik, Peluang yang Tertunda
Di Busan, Korea Selatan, pembicaraan tentang perjanjian global untuk mengatasi polusi plastik juga menghadapi jalan buntu. Mayoritas negara mendukung pengurangan produksi plastik dan larangan produk sekali pakai. Sayangnya, blokade dari Arab Saudi dan Rusia, yang bergantung pada plastik sebagai bagian dari industri bahan bakar fosil, menggagalkan kesepakatan.
Baca juga: Perjanjian Plastik Global di INC-5 Berakhir dalam Kebuntuan
Padahal, masalah plastik terus meningkat. Lautan dipenuhi mikroplastik, sementara ekosistem darat dan laut terancam. Dukungan luas dari publik dan sektor bisnis seharusnya menjadi momentum untuk menghasilkan kebijakan global yang lebih tegas.
Perlindungan Keanekaragaman Hayati yang Tersendat
Pertemuan COP16 di Cali, Kolombia, kembali menjadi sorotan karena gagal mencapai terobosan untuk melindungi keanekaragaman hayati. Meski ada peluncuran Dana Cali yang didanai oleh perusahaan pengguna data genetik, implementasi pakta perlindungan yang disepakati pada 2022 tetap tertunda.
Baca juga: Negara Kaya vs Kepulauan Kecil, ‘Berkelahi’ Soal Keadilan Iklim
Mayoritas negara belum mengajukan rencana nasional, sementara janji pendanaan dari negara kaya minim. Situasi ini menggarisbawahi perlunya langkah konkret untuk melindungi keanekaragaman hayati yang kian terancam oleh aktivitas manusia dan perubahan iklim.
Penggurunan, Krisis yang Diabaikan
Pada COP16 di Riyadh, Arab Saudi, negosiasi tentang mekanisme global untuk menangani kekeringan berakhir tanpa solusi nyata. Padahal, lebih dari 75% daratan bumi telah menjadi lebih kering dalam tiga dekade terakhir. Fenomena ini tidak hanya mengancam produksi pangan, tetapi juga mempercepat krisis sosial-ekonomi di banyak wilayah.
Baca juga: COP16 Riyadh, Rangkaian Kegagalan Perundingan Global di Tahun Krisis
Para ilmuwan menekankan perlunya tindakan segera untuk mengatasi penggurunan. Namun, kegagalan mencapai kesepakatan global menunjukkan kurangnya urgensi dalam menghadapi tantangan ini.
Masa Depan Negosiasi, Apa yang Bisa Dilakukan?
Melihat lambatnya kemajuan negosiasi global, sejumlah ahli mengusulkan pendekatan baru. Jean-Frederic Morin dari Laval University menyarankan untuk memperkuat perjanjian yang sudah ada ketimbang terus menciptakan kesepakatan baru.
Sementara itu, Maria Ivanova dari Northeastern University mengusulkan strategi “minilateralisme.” Pendekatan ini melibatkan kerja sama antara kelompok kecil negara atau koalisi lintas sektor untuk menciptakan momentum yang lebih besar.
Baca juga: Ketimpangan Dana Iklim vs. Proyek Perusak di COP29
Selain itu, Monterrey-Gomez menyarankan penghapusan prinsip konsensus dalam negosiasi internasional dan menggantinya dengan mekanisme pemungutan suara untuk mendorong ambisi yang lebih besar.
Tahun 2024 menunjukkan bahwa tantangan global terkait iklim semakin mendesak, tetapi respons internasional masih lamban dan terpecah. Perubahan iklim, polusi plastik, degradasi keanekaragaman hayati, dan penggurunan membutuhkan pendekatan yang lebih berani dan inovatif. Kolaborasi lintas sektor dan strategi baru harus menjadi prioritas untuk memastikan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.