Ngopi Lokal, Gaya Baru Anak Muda Indonesia

Suasana kedai kopi lokal yang ramai jadi bukti tren ngopi anak muda makin beralih ke brand lokal. Foto: Ilustrasi/ Quang Nguyen Vinh/ Pexels.

DARI meja coworking space hingga pojok kampus, aroma kopi lokal makin akrab dengan keseharian anak muda Indonesia. Di balik rasa yang nikmat, ada gelombang kesadaran baru yang mengalir dalam setiap tegukan. Boikot terhadap merek global yang dituding terafiliasi Israel memicu perubahan besar di industri kopi Tanah Air.

Bukan lagi sekadar gaya hidup, memilih kopi lokal kini menjadi pernyataan sikap. Gerakan solidaritas terhadap Palestina—yang digaungkan lewat media sosial, diskusi daring, hingga tagar viral—bertemu dengan momen ketika merek lokal sudah cukup matang secara kualitas dan branding.

Hasilnya? Pasar kopi modern Indonesia melonjak. Laporan Momentum Works menyebutkan, pada akhir 2023, nilai pasar kopi di Indonesia mencapai US$947 juta atau sekitar Rp14,8 triliun. Angka ini setara hampir 28% dari total pasar kopi Asia Tenggara. Penyebab utamanya: ekspansi agresif kedai kopi lokal.

Bintang Baru di Bursa dan Lidah Milenial

FORE Kopi menjadi bukti bahwa kopi lokal tidak hanya punya cita rasa tinggi, tapi juga prospek bisnis yang menjanjikan. Sejak resmi melantai di Bursa Efek Indonesia pada April 2025, saham FORE melonjak 34% di hari pertama. Perusahaan ini berambisi membuka 170 gerai baru dalam dua tahun ke depan.

Baca juga: Industri Kopi 2025, Era Inovasi dan Ramah Lingkungan

Tak kalah bersinar, Janji Jiwa dan Kopi Kenangan mengalahkan Starbucks dalam jumlah gerai. Menurut data USDA, kedai lokal ini melaju cepat berkat kombinasi harga terjangkau, pendekatan digital yang kreatif, dan rasa yang sesuai lidah Gen Z.

Kopi lokal kian digemari, bukan cuma soal rasa, tapi juga pilihan gaya hidup baru anak muda. Foto: Ilustrasi/ Jonathan Humphries/ Pexels.

Laporan keuangan FORE pun menunjukkan tren positif. Dari rugi Rp59,9 miliar pada 2022, kini mereka mencetak laba Rp41,4 miliar hanya dalam sembilan bulan pertama 2024. CEO lembaga riset THINK, Sumadi Surianto, menyebut strategi FORE cerdas: “Mereka hadir seperti Starbucks, tapi lebih murah.”

Kopi dan Nasionalisme Gaya Baru

Boikot bukan satu-satunya faktor pendorong. Indonesia adalah produsen kopi terbesar keempat di dunia, dengan produksi tahunan sekitar 10 juta kantong. Tapi konsumsi domestik baru separuhnya. Artinya, kopi lokal masih punya ruang besar untuk bertumbuh—baik dari sisi pasokan maupun konsumen.

Baca juga: Bakoel Koffie, Warung Kopi Tertua di Indonesia

Bagi Gen Z, membeli kopi lokal kini jadi bagian dari identitas. Mereka bukan sekadar ingin ngopi, tapi ingin merasa terhubung dengan narasi yang lebih besar: keberlanjutan, keberpihakan, dan kebanggaan lokal. Tak heran, brand seperti Tuku atau Kopi Kenangan sering muncul di konten TikTok, review YouTube, bahkan menjadi bagian dari meme budaya pop lokal.

Barista sedang meracik pesanan di kedai kopi lokal. Cita rasa lokal makin diminati di tengah gerakan boikot global. Foto: Ilustrasi/ Wendy Wei/ Pexels.

Sementara itu, Starbucks terkena dampaknya. Pendapatannya anjlok 35% menurut laporan MAP Boga Adiperkasa. Indeks mereknya juga turun dari 49,4% (2021) ke 48,5% (2024). Di sisi lain, indeks Janji Jiwa naik pesat, memperkecil gap menjadi hanya 3,7%.

Baca juga: Memahami Perbedaan Americano, Long Black, dan Kopi Tubruk

Dengan kombinasi produksi melimpah, loyalitas baru, dan kekuatan narasi yang kuat, kopi lokal tak hanya bertahan. Ia kini siap memimpin. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *