Permintaan Batu Bara Naik, Transisi Energi Global Diuji

Permintaan batu bara global diprediksi mencapai rekor baru hingga 2027, memicu tantangan besar bagi ambisi transisi energi bersih dunia. Foto: Instagram/ @myfoto_explore.

DALAM bayangan ambisi global untuk menurunkan emisi karbon, laporan terbaru dari International Energy Agency (IEA) kembali memberikan kabar yang menohok. Hingga tahun 2027, permintaan batu bara global diperkirakan tidak hanya bertahan, tetapi terus meningkat hingga mencapai angka rekor baru sebesar 8,9 miliar ton. Angka ini menjadi tantangan besar bagi upaya transisi energi bersih, terutama di negara-negara berkembang seperti India dan China yang menjadi motor utama kenaikan permintaan.

Paradoks Permintaan Batu Bara di Tengah Transisi Energi

IEA sebelumnya memproyeksikan bahwa permintaan batu bara global telah mencapai puncaknya pada 2023. Namun, data terbaru menunjukkan pola berbeda. Alih-alih menurun, permintaan justru naik sekitar 1% setiap tahun hingga 2027. Penyebabnya? Kebutuhan listrik global yang terus meningkat, terutama di Asia, menjadi faktor utama.

“Permintaan global terhadap batu bara akan stagnan hingga 2027, meskipun konsumsi listrik meningkat tajam,” ungkap Direktur Pasar Energi dan Keamanan IEA, Keisuke Sadamori.

Baca juga: Dilema Nol Emisi di Asia Tenggara, Keberlanjutan vs Biaya Pangan

Meski pasar Eropa dan Amerika Serikat mencatat penurunan tajam konsumsi batu bara, India dan China mencatat peningkatan yang signifikan. Hanya dalam sembilan bulan pertama tahun 2024, China mengimpor 3,9 miliar ton batu bara—naik hampir 12% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

IEA mencatat, konsumsi batu bara di dua negara berpenduduk terbesar di dunia ini pada 2027 diperkirakan akan melampaui total permintaan Uni Eropa. Fakta ini menegaskan pentingnya partisipasi negara-negara berkembang dalam transisi energi global.

Batu Bara, Pendorong Pertumbuhan atau Ancaman Lingkungan?

Batu bara masih menjadi sumber energi utama bagi banyak negara, terutama di kawasan Asia yang mengalami pertumbuhan ekonomi pesat. Sayangnya, penggunaannya membawa dampak serius terhadap lingkungan.

Sebagai bahan bakar fosil dengan tingkat karbon yang tinggi, pembakaran batu bara menyumbang hingga 40% dari emisi karbon dioksida (CO2) global pada 2023. Dari jumlah itu, pembangkit listrik berbasis batu bara menyumbang sekitar 11 gigaton emisi. Angka ini setara dengan total emisi yang dihasilkan semua jenis transportasi di dunia.

Baca juga: Net Zero 2060, Dilema Emisi dari Lima Sektor Kunci

Menurut IEA, stagnasi permintaan batu bara selama lima tahun terakhir tidak terlepas dari ketergantungan negara-negara berkembang terhadap bahan bakar murah. Meski begitu, harga yang rendah membawa konsekuensi besar: memperlambat upaya mitigasi perubahan iklim.

Tantangan Negara Berkembang dalam Transisi Energi

Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, dan China, transisi energi bersih bukanlah perjalanan yang mudah. Akses terhadap teknologi dan energi terbarukan yang terjangkau menjadi kendala besar.

Baca juga: Era Minyak Berakhir, Era Listrik Bersih Dimulai

Meskipun banyak negara telah meluncurkan kebijakan untuk mengurangi emisi karbon, kesenjangan pendanaan dan teknologi tetap menjadi penghambat. Tanpa dukungan internasional yang memadai, negara-negara berkembang sulit beralih dari batu bara ke energi terbarukan.

“Kita butuh strategi global yang inklusif, terutama untuk memastikan negara berkembang memiliki akses ke teknologi bersih yang lebih murah,” ujar Sadamori.

Solusi Berkelanjutan, Jalan Panjang ke Depan

Meningkatnya permintaan batu bara adalah pengingat nyata bahwa transisi energi bersih tidak bisa dilakukan secara seragam. Sementara negara-negara maju seperti Jerman dan Amerika Serikat berinvestasi besar-besaran dalam energi terbarukan, negara-negara berkembang harus menghadapi realitas kebutuhan energi yang terus meningkat.

Diperlukan kolaborasi internasional untuk menyediakan teknologi, pendanaan, dan akses energi bersih yang terjangkau. Langkah-langkah seperti pajak karbon, investasi pada energi terbarukan, hingga program transisi tenaga kerja di sektor energi fosil harus diintensifkan.

Baca juga: China Kuasai 50% Energi Terbarukan Global pada 2030

Selain itu, pembuat kebijakan perlu fokus pada diversifikasi sumber energi dan pengembangan teknologi penyimpanan energi. Dengan demikian, kebutuhan energi yang besar dapat dipenuhi tanpa mengorbankan lingkungan.

Batu bara mungkin tetap memainkan peran penting dalam perekonomian global selama beberapa tahun ke depan. Namun, dunia tidak punya banyak waktu untuk menunda transisi energi. Keberhasilan atau kegagalan upaya ini akan menentukan masa depan lingkungan dan generasi mendatang. ***

Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *