Perubahan Iklim Hancurkan Tradisi Salju 130 Tahun di Gunung Fuji

Perubahan iklim mengubah panorama Gunung Fuji, di mana tradisi salju selama 130 tahun kini terancam. Foto: Huu Huynh/ Pexels.

OKTOBER hampir berakhir, tetapi Gunung Fuji di Jepang belum menunjukkan tanda-tanda salju yang biasanya menyelimuti puncaknya. Ini adalah fenomena yang belum pernah terjadi dalam 130 tahun terakhir.

Badan Meteorologi Jepang mengungkapkan bahwa salju biasanya muncul sekitar tanggal 2 Oktober. Namun, hingga saat ini, tidak ada salju yang terdeteksi. Musim panas yang panas dan panjang telah mengganggu pembentukan salju di gunung ikonik tersebut.

Cuaca Panas yang Menghantui

Suhu tinggi yang menyelimuti Jepang sepanjang musim panas ini, dan berlanjut hingga September, berkontribusi pada keterlambatan pembentukan salju.

Yutaka Katsuta, seorang peramal cuaca di Kantor Meteorologi Lokal Kofu, menyatakan bahwa kondisi ini menghalangi udara dingin yang seharusnya membawa salju. “Suhu tinggi musim panas ini menghalangi pembentukan salju di Gunung Fuji,” jelasnya.

Perubahan iklim menjadi salah satu faktor yang diidentifikasi sebagai penyebab keterlambatan ini. Musim panas tahun ini tercatat sebagai yang terpanas, menyamai level ekstrem yang terjadi pada tahun lalu. Gelombang panas global membuat banyak daerah di dunia berjuang dengan suhu yang tak biasa, dan Jepang tidak terkecuali.

Dampak pada Pariwisata dan Lingkungan

Gunung Fuji, yang memiliki ketinggian 3.776 meter, adalah tujuan favorit para pendaki. Selama musim pendakian antara Juli dan September, lebih dari 220.000 pengunjung biasanya menjelajahi lerengnya yang curam.

Banyak pendaki yang memilih untuk mendaki pada malam hari untuk menikmati pemandangan matahari terbit yang spektakuler dari puncak. Namun, tahun ini, jumlah pendaki mengalami penurunan.

Baca juga: Fakta di Balik Julukan Jepang sebagai ‘Negeri Matahari Terbit

Otoritas Jepang memberlakukan biaya masuk dan pembatasan jumlah pendaki harian untuk mengatasi masalah pariwisata yang berlebihan. Kebijakan ini diharapkan dapat melindungi lingkungan sekitar Gunung Fuji dan menjaga pengalaman pendakian yang lebih baik bagi para wisatawan.

Gunung Fuji terlihat megah dari Pagoda Cureito, menampilkan keindahan alam yang menakjubkan, namun kini menghadapi tantangan akibat perubahan iklim yang mengancam tradisi saljunya. Foto: Tomáš Malík/ Pexels.
Warisan Budaya dan Alam

Gunung Fuji tidak hanya menjadi objek wisata, tetapi juga bagian dari warisan budaya Jepang. Keindahannya telah menginspirasi banyak karya seni, termasuk lukisan terkenal “Gelombang Besar” oleh Hokusai. Selain itu, gunung ini memiliki sejarah vulkanik yang panjang, dengan letusan terakhirnya tercatat sekitar 300 tahun yang lalu.

Keterlambatan pembentukan salju di Gunung Fuji menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh alam dan masyarakat akibat perubahan iklim. Fenomena ini merupakan pengingat bahwa kita perlu bertindak untuk melindungi lingkungan dan menjaga keindahan alam untuk generasi mendatang.

Menuju Kesadaran Lingkungan

Kondisi yang terjadi di Gunung Fuji juga menciptakan kesadaran akan pentingnya praktik keberlanjutan. Bagaimana kita menjaga ekosistem dan mengelola pariwisata yang berkelanjutan menjadi pertanyaan penting. Setiap individu memiliki peran dalam merawat bumi, dan langkah kecil bisa membawa dampak besar.

Masyarakat, pelaku pariwisata, dan pemerintah harus berkolaborasi untuk mengatasi tantangan ini. Dengan kebijakan yang tepat dan kesadaran kolektif, kita dapat melestarikan keindahan Gunung Fuji dan warisan budaya yang menyertainya.

Fenomena keterlambatan salju ini adalah sinyal bahwa perubahan iklim telah sampai ke pintu kita. Sudah saatnya untuk bertindak demi masa depan yang lebih baik bagi lingkungan dan keberlanjutan pariwisata di Indonesia dan seluruh dunia. ***

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *