Poop Cruise dan Lubang Hukum di Laut Lepas

Pemandangan dek utama Carnival Triumph saat darurat, ketika penumpang mendirikan tenda-tenda dari seprai untuk berlindung akibat AC dan sistem kamar tidak berfungsi. Cuplikan ini diambil dari dokumenter Trainwreck: Poop Cruise di Netflix.

KISAH kapal Carnival Triumph yang berubah menjadi “neraka terapung” bukan hanya tragedi sanitasi. Dokumenter Trainwreck: Poop Cruise di Netflix juga membuka mata dunia terhadap satu realitas pahit, betapa rapuhnya perlindungan hukum bagi penumpang kapal pesiar di perairan internasional.

Ketika toilet meluap, makanan basi dibagikan, dan ribuan orang terjebak lima hari tanpa AC di kapal, muncul pertanyaan besar, siapa yang bertanggung jawab?

Kebakaran, Kelumpuhan, dan Kekacauan

Insiden bermula dari kebakaran di ruang mesin Carnival Triumph. Sistem listrik lumpuh. Toilet tak bisa digunakan. Lorong berubah jadi genangan kotoran. Penumpang terpaksa buang air di kantong plastik.

Namun begitu mereka selamat dan kapal ditarik ke daratan, gugatan hukum mulai dilayangkan. Ribuan penumpang menuntut ganti rugi atas penderitaan fisik dan mental. Tapi hasilnya mengejutkan.

Baca juga: Poop Cruise, Ketika Liburan Mewah Berubah Jadi Mimpi Buruk di Tengah Laut

Syarat Tiket yang “Melindungi” Perusahaan

Mayoritas gugatan hukum kandas. Mengapa? Karena sebagian besar tiket kapal pesiar, termasuk milik Carnival, mencantumkan syarat dan ketentuan yang membatasi tanggung jawab perusahaan atas “force majeure” atau kejadian tak terduga.

Trailer resmi dokumenter Poop Cruise: 4.000 penumpang terjebak di laut tanpa listrik dan toilet setelah kebakaran mesin kapal pesiar. Video: Youtube/ @Netflix.

Bahkan dalam kasus bencana seperti kebakaran atau kegagalan mesin, perusahaan hanya wajib memberi pengembalian dana, kompensasi uang tunai, dan voucher perjalanan. Dalam kasus ini, Carnival memberi US$500 per penumpang, pengembalian biaya, dan satu tiket gratis, yang justru dianggap sinis oleh sebagian korban.

Baca juga: ‘Air Cocaine’, Bagaimana Dua Pilot Prancis Lolos dari Jerat Hukum Internasional

Zona Abu-abu Hukum Maritim

Di perairan internasional, yurisdiksi hukum menjadi rumit. Banyak kapal pesiar mendaftarkan diri di negara-negara “bendera nyaman” seperti Panama, Liberia, atau Bahama, negara dengan regulasi longgar dan pajak rendah. Artinya, tuntutan hukum harus mengikuti hukum negara tempat kapal terdaftar, bukan negara asal penumpang.

Inilah celah hukum yang dimanfaatkan oleh banyak operator kapal pesiar. Selama penumpang menyetujui syarat dan ketentuan saat membeli tiket, hak-hak mereka jadi sangat terbatas saat bencana terjadi.

Kapal pesiar Carnival Triumph sebelum insiden “Poop Cruise” 2013. Kebakaran mesin membuat kapal kehilangan daya dan sistem sanitasi lumpuh selama lima hari.
Foto: Roger Wollstadt/ Wikipedia.
Kritik dan Tuntutan Reformasi

Setelah tragedi ini, muncul gelombang kritik terhadap hukum pelayaran komersial. Beberapa kelompok advokasi di AS dan Eropa menyerukan pembaruan hukum internasional agar penumpang kapal pesiar mendapat perlindungan setara dengan penumpang pesawat.

Baca juga: Perampok Berkelit Jadi Pencuri: Pelajaran Hukum dari The Diamond Heist

Dokumenter Poop Cruise menjadi bukti kuat bahwa industri pelayaran butuh transparansi, standar keselamatan yang lebih ketat, dan sistem hukum yang tidak memihak korporasi. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDIA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *