
Oleh: Hamdani S Rukiah, SH, MH *
DULU, aktivisme lingkungan dipandang sebagai gerakan heroik yang membawa perubahan. Kini, seiring berkembangnya zaman, efektivitasnya sering dipertanyakan. Di satu sisi, ada aktivis yang berhasil menekan kebijakan untuk lebih ramah lingkungan. Di sisi lain, ada gerakan yang justru mendapat resistensi karena dianggap tidak solutif. Lantas, bagaimana seharusnya aktivisme lingkungan beradaptasi agar tetap relevan?
Indonesia, salah satu negara paling terdampak krisis iklim menurut Global Climate Risk Index 2024, membutuhkan aksi nyata. Banjir, polusi, dan deforestasi terus meningkat. Namun, apakah cara-cara aktivisme saat ini cukup untuk membawa perubahan?
Aktivisme yang Berdampak: Data, Dialog, dan Diplomasi
Aktivisme yang efektif bukan hanya tentang turun ke jalan. Perubahan terjadi ketika gerakan berbasis data dan solusi konkret. Walhi dan Greenpeace Indonesia telah menunjukkan bagaimana advokasi berbasis riset dapat menekan perusahaan tambang dan sawit untuk lebih bertanggung jawab.
Selain itu, kampanye berbasis media sosial seperti #SaveAru atau #BersihkanIndonesia telah membuktikan kekuatan digital dalam membangun kesadaran publik. Mengutip laporan World Resources Institute (WRI), pemanfaatan data satelit untuk memantau deforestasi telah membantu mendorong kebijakan moratorium izin hutan.
Ketika Aktivisme Kehilangan Arah
Namun, ada juga gerakan yang gagal mencapai tujuannya. Demonstrasi tanpa tuntutan yang jelas, aksi konfrontatif yang berujung kriminalisasi, atau seruan boikot tanpa solusi alternatif sering kali justru melemahkan gerakan lingkungan sendiri.
Menurut studi Harvard Kennedy School, aksi protes yang tidak memiliki strategi konkret cenderung tidak efektif dalam menarik perhatian pemangku kebijakan. Di Indonesia, beberapa aksi blokade tambang atau perusakan alat berat justru memperkuat stigma negatif terhadap aktivis lingkungan.
Tantangan Aktivisme Lingkungan di Indonesia
Selain strategi yang belum matang, ada tantangan lain yang menghambat efektivitas gerakan lingkungan:
- Kriminalisasi Aktivis – Amnesty International mencatat lebih dari 200 aktivis lingkungan mengalami kriminalisasi sejak 2019.
- Dukungan Kebijakan yang Lemah – Pemerintah masih cenderung mendukung industri ekstraktif ketimbang keberlanjutan.
- Minimnya Kesadaran Publik – Banyak masyarakat belum memahami dampak langsung krisis iklim, membuat dukungan terhadap gerakan lingkungan terbatas.

Opini: Aktivisme Harus Berubah, Bukan Hanya Bersuara
Aktivisme lingkungan harus berevolusi. Tidak cukup hanya berteriak dan mengecam. Dibutuhkan pendekatan yang lebih strategis:
- Berbasis Data – Fakta ilmiah sulit dibantah dan dapat membangun kepercayaan publik.
- Kolaborasi dengan Pembuat Kebijakan – Alih-alih konfrontasi, dialog yang konstruktif lebih mungkin menghasilkan perubahan nyata.
- Membangun Kesadaran Publik – Tanpa dukungan luas, aktivisme hanya akan menjadi suara di ruang hampa.
- Pendekatan Inklusif – Mengajak masyarakat berpartisipasi dalam solusi konkret seperti ekowisata atau pertanian berkelanjutan akan lebih berdampak.
Aktivisme lingkungan bukan sekadar gerakan simbolis. Ia harus berkembang menjadi kekuatan yang benar-benar mampu mengubah kebijakan dan perilaku masyarakat. Dengan strategi yang tepat, aktivisme bisa menjadi motor perubahan yang nyata dan berkelanjutan. ***
- Jurnalis, Pemerhati Hukum Lingkungan, Hukum Bisnis, dan Keadilan Sosial.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.