
Indonesia telah menyerahkan draf Second Nationally Determined Contributions (NDC) kepada Presiden Prabowo Subianto. Namun, mampukah target iklim baru ini menjawab tantangan global?
Menanti Persetujuan Presiden untuk Target Iklim Baru
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengonfirmasi bahwa draf Second NDC Indonesia telah diserahkan kepada Presiden Prabowo Subianto dan kini menunggu persetujuan. Dokumen ini akan menjadi pembaruan dari Enhanced NDC yang sebelumnya menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Menurut Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLH, Sasmita Nugroho, ada beberapa perubahan dalam Second NDC ini. Salah satunya adalah potensi penambahan sektor kelautan dan subsektor hulu migas dalam target pengurangan emisi nasional.
Baca juga: Krisis Iklim, Bagaimana Dunia Berubah dalam 2 Derajat?
Jika mendapat persetujuan, ini akan menjadi langkah penting dalam strategi iklim Indonesia. Namun, dengan tenggat waktu yang semakin dekat, efektivitas implementasinya masih menjadi tanda tanya besar.
Indonesia dan Perdagangan Karbon Internasional
Salah satu langkah konkret dalam mengurangi emisi adalah perdagangan karbon internasional, yang telah mulai berjalan sejak Januari lalu. Sistem ini memungkinkan perusahaan dan negara membeli atau menjual kredit karbon berdasarkan tingkat emisi yang mereka hasilkan.
Selain itu, Indonesia juga mulai menerapkan pendanaan iklim berbasis kinerja. Artinya dukungan finansial diberikan berdasarkan capaian dalam upaya penurunan emisi. Pendekatan ini bisa menjadi peluang besar, tetapi tanpa pengawasan ketat, efektivitasnya bisa jadi pertanyaan besar.
Baca juga: Menuju Keberlanjutan, Indonesia Percepat Kebijakan Emisi Karbon
Seiring dengan ambisi iklim ini, pertanyaannya adalah apakah langkah ini cukup untuk mengatasi krisis lingkungan yang semakin mendesak?
Dunia Telat Serahkan Target Iklim
Indonesia bukan satu-satunya negara yang masih berjuang dengan target iklimnya. Carbon Brief melaporkan bahwa hampir 95 persen negara belum menyerahkan Second NDC kepada PBB meskipun tenggat waktunya jatuh pada 10 Februari 2025.

Dari 193 negara yang meratifikasi Perjanjian Paris, hanya 13 yang telah mengirimkan dokumen NDC terbaru. Lebih parahnya, negara-negara yang telat ini bertanggung jawab atas 83 persen total emisi dunia.
Sekretaris Eksekutif UNFCCC Simon Stiell menegaskan bahwa negara-negara harus segera menyerahkan rencana mereka paling lambat September 2025, sebelum KTT Iklim COP30 di Brasil.
Baca juga: Krisis Iklim Vs Janji Negara: Tenggat Terlewat, Aksi Masih Samar
Kondisi ini menunjukkan bahwa dunia masih jauh dari komitmen untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius seperti yang jadi kesepakatan dalam Perjanjian Paris.
Tantangan Nyata, dari Janji ke Implementasi
Meski Indonesia telah merancang strategi pengurangan emisi, realisasinya masih penuh tantangan. Beberapa hal yang perlu jadi perhatian:
- Emisi GRK Indonesia masih tinggi. Sektor energi dan industri masih menjadi penyumbang terbesar.
- Deforestasi masih terjadi. Komitmen nol deforestasi sering kali bertabrakan dengan kepentingan ekonomi.
- Peran sektor swasta dan masyarakat perlu diperkuat. Kebijakan yang dibuat harus diikuti dengan insentif nyata bagi industri dan individu untuk berpartisipasi dalam aksi iklim.
Tahun 2024 dinobatkan sebagai tahun terpanas dalam sejarah, menandakan bahwa aksi iklim tidak bisa ditunda lagi. Baca juga: Pajak Karbon Indonesia, Kebijakan Besar yang Terus Tertunda. Mampukah Second NDC menjadi solusi konkret atau hanya sekadar dokumen formalitas?
Baca juga: Krisis Iklim, 2024 Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah
Pemerintah Indonesia memiliki peluang untuk mengambil langkah nyata. Namun, tanpa implementasi yang jelas, transparan, dan berbasis data, target ini bisa kembali menjadi janji kosong. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.