Suap Rp60 Miliar: Ketika Bisnis dan Hukum tak Lagi Berdiri Sendiri

Foto: Ilustrasi/ Monstera Production/ Pexels.

Oleh: Hamdani S Rukiah, SH, MH

Jurnalis, Pemerhati Hukum Bisnis, Hukum Lingkungan, dan Keadilan Sosial

PENANGKAPAN Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, M. Arif Nuryanta, atas dugaan suap Rp60 miliar mengejutkan publik. Tak kalah penting, kasus ini menjadi sorotan tajam dalam dunia hukum bisnis. Bukan hanya karena besarnya nilai dugaan suap, tapi karena siapa saja yang terlibat: korporasi besar, pengacara korporasi, dan hakim dengan jabatan tinggi. Ini bukan sekadar kasus pidana. Ini adalah peringatan keras bagi tata kelola bisnis di Indonesia.

Sekilas Kasus

M. Arif Nuryanta ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Ia diduga menerima suap dari dua advokat korporasi untuk mengatur putusan perkara ekspor Crude Palm Oil (CPO). Tiga perusahaan raksasa disebut: PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.

Modusnya adalah dugaan pemberian uang agar majelis hakim menjatuhkan putusan yang menguntungkan pihak korporasi. Ini bukan kasus pertama. Tapi, nilai suap dan skala pelibatan pelaku membuatnya jadi peringatan keras bagi tata kelola bisnis dan penegakan hukum.

Baca juga: Suap Ekspor CPO, Ketua PN Jaksel Terjerat Gratifikasi Rp 60 Miliar

Hukum yang Bisa Dibeli

Dugaan suap untuk mempengaruhi putusan perkara ekspor CPO memperlihatkan celah besar dalam sistem hukum. Ketika perusahaan mencoba menyelamatkan kepentingan ekonominya melalui jalan pintas, maka yang dikorbankan adalah kepastian hukum. Ini adalah bentuk nyata dari praktik legal engineering yang merusak.

Di atas kertas, Indonesia memiliki aturan tegas soal korupsi. Tapi praktiknya, perusahaan masih bisa bernegosiasi dengan keadilan. Suap kepada hakim bukan hanya mencederai hukum, tapi juga memperburuk iklim investasi. Investor akan berpikir dua kali untuk masuk ke pasar yang peradilan bisnisnya bisa diatur lewat uang.

Peran Pengacara Korporasi

Dua tersangka dalam kasus ini bukan orang sembarangan. Mereka adalah pengacara korporasi dari firma hukum yang menangani kepentingan perusahaan besar. Peran mereka menunjukkan bagaimana profesi hukum bisa disalahgunakan.

Baca juga: Hak Imunitas Advokat, Perlindungan Profesi atau Celah Hukum?

Di sinilah pentingnya etika profesi. Pengacara seharusnya menjadi garda depan dalam menegakkan hukum, bukan justru menjadi fasilitator kejahatan korporasi. Ketika profesional hukum menyimpang, sistem akan ambruk dari dalam.

Risiko Besar bagi Korporasi

Korupsi bukan cuma urusan individu. Dalam hukum modern, korporasi bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Jika terbukti, perusahaan bisa dikenai sanksi administratif, denda besar, bahkan pencabutan izin usaha.

Foto: Ilustrasi/ Katrin Bolovstova/ Pexels.

Yang lebih parah: kerugian reputasi. Dalam era Environmental, Social, and Governance (ESG), perusahaan yang terlibat korupsi akan kehilangan kepercayaan publik dan pasar global. Konsumen makin cerdas. Investor pun makin selektif.

Dampaknya ke Dunia Usaha

Dunia usaha membutuhkan kepastian hukum. Tanpa itu, perencanaan bisnis menjadi sulit. Ketika keputusan pengadilan bisa dibeli, maka tidak ada jaminan keadilan bagi pelaku usaha yang jujur.

Baca juga: Skandal Suap CPO, Tiga Hakim Terjerat Jebakan Vonis Lepas

Iklim usaha jadi timpang. Perusahaan yang bermain kotor bisa bertahan, sementara yang patuh pada hukum malah terpinggirkan. Ini menciptakan distorsi dan mendorong praktik-praktik curang lainnya.

Butuh Reformasi Serius

Kasus ini harus jadi momentum. Reformasi peradilan bukan sekadar slogan. Butuh pengawasan yang nyata terhadap lembaga peradilan dan para penegak hukum. Begitu juga dengan profesi advokat dan penasihat hukum perusahaan.

Baca juga: Korupsi BBM Rp 193,7 Triliun: Saat Hukum Diuji, Rakyat Dikhianati

Korporasi harus mulai serius membangun sistem anti-suap. Salah satunya dengan menerapkan ISO 37001: sistem manajemen anti-penyuapan yang sudah diakui secara global. Tak kalah penting, budaya perusahaan harus berubah. Kepatuhan hukum harus menjadi inti dari strategi bisnis, bukan sekadar pelengkap.

Kasus Ketua PN Jakarta Selatan adalah cermin retaknya sistem hukum dalam dunia bisnis kita. Saat pengadilan dijadikan alat bisnis, maka keadilan akan selalu kalah. Ini bukan hanya krisis hukum. Ini ancaman nyata bagi masa depan ekonomi Indonesia. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *