![](https://mulamula.id/wp-content/uploads/2024/09/pexels-polina-tankilevitch-3735182-1-1024x683.jpg)
SUSTAINABILITY branding semakin menjadi bagian dari strategi bisnis di Indonesia. Banyak perusahaan mulai menerapkan narasi ramah lingkungan untuk menarik perhatian konsumen yang lebih sadar akan dampak lingkungan.
Namun, apakah ini hanya sekadar strategi pemasaran atau benar-benar membawa perubahan positif bagi lingkungan?
Tren Sustainability Branding di Indonesia
Berdasarkan laporan Deloitte (2023), lebih dari 60% konsumen Indonesia kini lebih memilih produk yang ramah lingkungan.
Hal ini mendorong banyak perusahaan besar, mulai dari sektor fashion hingga makanan dan minuman, untuk mengadopsi label “sustainable”.
Tren ini juga terlihat dari meningkatnya penggunaan kemasan ramah lingkungan, sertifikasi organik, dan kampanye peduli lingkungan.
Mengapa Sustainability Branding Penting?
Menurut McKinsey, perusahaan yang menerapkan praktik keberlanjutan cenderung lebih diminati oleh generasi milenial dan Gen Z. “Konsumen muda sekarang sangat peduli terhadap jejak karbon produk yang mereka beli,” ungkap laporan tersebut.
Selain itu, adopsi prinsip keberlanjutan juga dapat meningkatkan reputasi perusahaan, yang pada akhirnya mendorong loyalitas konsumen.
Greenwashing, Bahaya di balik Kampanye Hijau
Meskipun tren ini terlihat positif, risiko greenwashing—praktik perusahaan yang berpura-pura ramah lingkungan tanpa tindakan nyata—juga meningkat.
Mengutip laporan dari Environmental Working Group, lebih dari 40% klaim ramah lingkungan di iklan produk terbukti tidak akurat atau menyesatkan.
Salah satu contohnya adalah perusahaan yang menggembar-gemborkan penggunaan bahan daur ulang, tetapi tetap memproduksi limbah dalam jumlah besar.
Langkah Nyata atau Hanya Pemanis?
Dilansir dari Sustainability Reporting Awards, perusahaan di Indonesia yang serius dalam branding keberlanjutan biasanya melaporkan dampak lingkungan mereka secara transparan.
Mereka menerbitkan laporan tahunan yang menyajikan data konkret, seperti pengurangan emisi karbon, efisiensi energi, dan program daur ulang.
Contohnya, perusahaan energi Pertamina berkomitmen mengurangi emisi karbon hingga 30% pada 2030 dan terus memperluas penggunaan energi terbarukan.
Namun, tidak semua perusahaan sejalan. Banyak bisnis kecil hingga menengah yang menghadapi tantangan besar dalam implementasi praktik keberlanjutan yang sesungguhnya.
Berdasarkan survei PwC Indonesia, 35% bisnis kecil menyebutkan bahwa biaya tinggi dan minimnya insentif pemerintah menjadi penghalang utama.
![](https://mulamula.id/wp-content/uploads/2024/09/pexels-s-j-251768595-27075537-576x1024.jpg)
Apa yang Bisa Dilakukan Konsumen?
Konsumen harus lebih kritis. Jangan hanya terpancing oleh label “eco-friendly” atau “green”. Sebaiknya, cari tahu apakah perusahaan benar-benar mempraktikkan apa yang mereka klaim.
Memeriksa sertifikasi resmi seperti ISO 14001 atau laporan keberlanjutan bisa menjadi langkah awal yang baik.
Sustainability branding di Indonesia sedang berkembang pesat, namun risiko greenwashing tetap ada.
Konsumen dan perusahaan sama-sama harus bekerja lebih cerdas agar tren ini benar-benar membawa dampak positif bagi lingkungan.
Sementara perusahaan besar sudah mengambil langkah signifikan, usaha kecil membutuhkan dukungan lebih banyak agar bisa mengikuti tren ini secara nyata. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.