
KETIKA kapal melaju meninggalkan dermaga Sorong, hamparan laut biru dan gugusan pulau karst Raja Ampat menyambut mata. Namun di balik keindahan yang memukau itu, muncul perdebatan besar tentang masa depan Papua Barat Daya: pariwisata berkelanjutan atau eksploitasi tambang?
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, dalam kunjungan kerjanya ke Papua Barat Daya awal Juni lalu, menyampaikan keprihatinan atas izin tambang nikel di Raja Ampat. “Apakah ini akan diteruskan kalau kehadirannya hanya mengancam ekosistem alam?” ujarnya.
Sorotan ini penting. Raja Ampat bukan sekadar destinasi liburan. Ia adalah laboratorium alam dunia—rumah bagi 75% spesies karang dunia dan ratusan spesies laut endemik. Bila rusak, yang hilang bukan hanya pesona, tapi juga masa depan ekonomi berkelanjutan daerah.
Baca juga: Geopark Indonesia, Warisan Alam yang Terjebak Kepentingan
Evita menekankan perlunya evaluasi menyeluruh. Aspirasi masyarakat dan pemerintah daerah akan dibawa ke Senayan dan dibahas lintas komisi. Masalahnya tak hanya soal lingkungan, tapi juga keterbatasan anggaran.
Potensi Wisata Alam Masih Terpendam
APBD Papua Barat Daya hanya sekitar Rp1,4 triliun. Terlalu kecil untuk provinsi seluas itu dengan potensi pariwisata luar biasa. Sementara infrastruktur dasar, transportasi, dan promosi wisata masih minim. Evita mengusulkan kerja sama dengan swasta, termasuk dalam penyediaan moda angkutan udara seperti helikopter untuk menjangkau lokasi wisata terpencil.

Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu, menegaskan bahwa destinasi unggulan tersebar di enam kabupaten dan kota. Mulai dari Sorong sebagai pintu gerbang, Sorong Selatan dengan hutan dan sungai eksotis, Maybrat dengan danau sebening kristal, hingga Tambrauw dengan hutan konservasi, semuanya punya karakter khas.
Baca juga: Status Dunia Geopark Toba Terancam, Siapa Bertanggung Jawab?
Tentu saja, Raja Ampat tetap primadona. Namun, tekanan terhadap alam dari aktivitas tambang nikel bisa menjadi bom waktu. “Ada beberapa demo masyarakat soal pencemaran lingkungan,” kata Evita. “Pemerintah dan warga sepakat, alam Raja Ampat tak boleh rusak.”
Jalan Tengah, Pariwisata Berbasis Komunitas
Di sisi lain, peluang wisata berbasis komunitas dan pelestarian budaya lokal bisa menjadi jalan tengah. Potensi wisata budaya di Kampung Adat Malasigi, Gua Mare, dan hutan hujan tropis Tambrauw bisa ditawarkan kepada wisatawan yang mencari pengalaman otentik.

Praktisi keberlanjutan menyambut diskusi ini sebagai momen refleksi penting. Apakah Indonesia akan mempertahankan warisan alam Papua untuk generasi mendatang, atau mengorbankannya demi keuntungan sesaat?
Baca juga: Raja Ampat, Surga Bahari di Timur Indonesia
Pilihan ini menuntut visi besar. Bukan hanya dari pemerintah pusat, tapi juga keterlibatan sektor swasta, LSM, komunitas lokal, dan praktisi wisata. Pariwisata berkelanjutan di Papua Barat Daya bukan utopia. Ia mungkin, bila dikelola dengan prinsip kehati-hatian, kolaborasi, dan keberpihakan pada ekosistem.
Saat dunia menyoroti Indonesia sebagai pemilik surga bawah laut terbaik di dunia, pekerjaan rumah kita sederhana namun krusial: Jangan rusak surga itu sebelum dunia sempat mengenalnya. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.