2029 Bebas Sampah, Kota yang Gagal Dapat Label Kota Kotor

Kawasan kumuh di tengah kota dengan tumpukan sampah dan bangunan terbengkalai. Kondisi seperti ini menjadi sorotan utama dalam penilaian Adipura versi terbaru, yang bisa memberi label Kota Kotor bagi daerah dengan kinerja pengelolaan lingkungan terburuk. Foto: Ilustrasi/ Cottonbro Studio/ Pexels.

DI BALIK semarak kota-kota besar Indonesia, ada tumpukan masalah yang tak bisa lagi disapu ke bawah karpet, krisis sampah dan polusi udara. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) kini mengambil langkah lebih tegas. Melalui revitalisasi program Adipura, KLH menghadirkan satu kategori penilaian baru—Predikat Kota Kotor.

Predikat ini bukan sekadar label, tetapi sinyal bahaya. Menteri LH, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan bahwa status Kota Kotor akan diberikan kepada pemerintah daerah yang menunjukkan kinerja terburuk dalam pengelolaan lingkungan. Penilaiannya mencakup aspek kelembagaan, sistem pengelolaan sampah, kesiapan SDM, hingga kepatuhan terhadap larangan TPA open dumping.

“Kota yang masih membuang sampah secara terbuka tidak lagi layak masuk penilaian Adipura,” tegas Hanif dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengelolaan Sampah 2025, awal pekan ini.

Bukan Sekadar Estetika Kota

Program Adipura kini menitikberatkan pada substansi. Penilaian tak lagi soal trotoar bersih dan taman rapi semata. Evaluasi diarahkan pada tata kelola sistemik, yakni pemilahan dari sumber, kebijakan daerah, ketersediaan fasilitas daur ulang, dan kemampuan mengintegrasikan pengelolaan sampah ke dalam perencanaan pembangunan.

Baca juga: Indonesia Darurat Sampah, TPA Hampir Kolaps

Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan realita yang belum menggembirakan. Pada 2023, timbulan sampah nasional mencapai 56,63 juta ton. Namun, hanya 39,1 persen atau sekitar 22 juta ton yang dikelola dengan layak. Sisanya, mayoritas masih berakhir di TPA open dumping.

Tumpukan limbah logam di kawasan industri pesisir. Kurangnya sistem daur ulang dan pengelolaan sampah yang baik dapat memperburuk pencemaran lingkungan dan memperbesar potensi daerah mendapat label Kota Kotor dari KLH. Foto: Tom Fisk/ Pexels.

Masalah lain adalah plastik. Sekitar 10,8 juta ton, atau hampir 20 persen dari total sampah nasional, merupakan sampah plastik. Sayangnya, tingkat daur ulang nasional masih stagnan di angka 22 persen.

Baca juga: 55 Juta Ton Sampah Jadi Aset Energi Jakarta

“Angka daur ulang kita masih jauh dari cukup. Jawa mencatat angka tertinggi dengan 31 persen, disusul Bali dan Nusa Tenggara 22,5 persen, serta Sumatera 12 persen,” ungkap Hanif.

Jalan Menuju Nol Sampah 2029

KLH tak sekadar mengkritik. Pemerintah pusat tengah menyiapkan revisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 untuk mempercepat pengembangan Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL). Fokusnya adalah memperkuat dukungan anggaran APBN, percepatan izin, dan jaminan pembelian listrik hasil pengolahan sampah oleh PLN.

Baca juga: PLTSa di 12 Kota Masih Mandek, Evaluasi Jadi Kunci Percepatan

Hanif menegaskan, tahun 2029 harus menjadi tonggak Indonesia Bebas Sampah. Karena itu, pemda didorong segera menyusun peta jalan, menegakkan sanksi administratif, dan membenahi struktur kelembagaan.

“Rakornas ini bukan seremoni. Ini panggilan untuk aksi nyata. Bila tidak bertindak sekarang, yang kita wariskan hanyalah krisis ekologis yang lebih dalam,” pungkasnya.

Dalam forum nasional yang dihadiri lebih dari seribu peserta—termasuk 38 gubernur, 514 bupati/wali kota, pelaku industri, akademisi, hingga komunitas lingkungan—komitmen untuk menjadikan pengelolaan sampah sebagai agenda utama pembangunan daerah kembali digaungkan.

Kini, tinggal bagaimana pemda menyambut sinyal peringatan ini. Apakah akan menjadi Kota Adipura, atau jatuh ke jurang Kota Kotor? ***

Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *