
JAKARTA, kota megapolitan yang setiap harinya menghasilkan lebih dari 7.700 ton sampah, kini melihat tumpukan limbah sebagai peluang emas. Di balik bau menyengat dan gunungan sampah setinggi bukit di TPST Bantar Gebang, tersimpan potensi besar: energi masa depan.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyebut 55 juta ton sampah di Bantar Gebang sebagai “harta karun baru” dalam Forum Kerja Sama Daerah Mitra Praja Utama (MPU) 2025, Selasa (17/6). Alih-alih jadi beban lingkungan, Pramono menyebut limbah ini dapat diubah menjadi energi bersih melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA).
Baca juga: Indonesia Darurat Sampah, TPA Hampir Kolaps
Langkah ini bukan sekadar respons atas krisis sampah, tetapi juga bagian dari strategi jangka panjang membiayai proyek infrastruktur besar seperti tanggul laut raksasa atau giant sea wall. “Kami bangun empat hingga lima PLTSA. Dengan teknologi sekarang, ini bukan hal yang sulit lagi. Bahkan listrik dari PLTSA bisa dijual langsung ke PLN tanpa skema tipping fee,” jelasnya.
Potensi Sampah Jadi Listrik
Mengacu pada pengalaman negara-negara seperti Singapura, Vietnam, dan Tiongkok, pengelolaan sampah dengan teknologi insinerator dinilai lebih efisien dan ekonomis. PLTSA generasi baru kini mampu mengolah ribuan ton limbah per hari dan menghasilkan listrik dalam jumlah signifikan. Jakarta menargetkan satu PLTSA dapat memproses 2.500 ton sampah per hari dan menyuplai sekitar 1.500 megawatt listrik.
Baca juga: PLTSa di 12 Kota Masih Mandek, Evaluasi Jadi Kunci Percepatan
“Persoalan sampah selesai, kebutuhan listrik terpenuhi, pencemaran berkurang, dan kita mendapat pendapatan untuk pembangunan,” ujar Pramono. Dengan estimasi waktu operasional selama 25 hingga 28 tahun, sampah di Bantar Gebang cukup untuk menyuplai energi jangka panjang—bahkan belum tentu habis dalam periode tersebut.

Kolaborasi Antarprovinsi
Melihat skala potensi ini, Jakarta membuka pintu kolaborasi dengan 10 provinsi dalam Forum MPU. Tujuannya jelas: membangun sistem pengelolaan sampah regional yang saling menguntungkan. Setiap provinsi memiliki potensi limbah, namun belum tentu memiliki kapasitas infrastruktur seperti Jakarta. Di sinilah kerja sama dapat memainkan peran strategis.
“Ini bukan hanya soal Jakarta. Ini peluang bersama. Kami siap bekerja sama untuk menyelesaikan persoalan sampah secara nasional,” kata Pramono.
Pendanaan Infrastruktur dari Sampah
Salah satu dimensi paling menarik dari proyek ini adalah pendekatan pembiayaannya. Listrik dari PLTSA akan menjadi sumber pendapatan yang dialokasikan untuk membangun giant sea wall, proyek besar yang dirancang untuk melindungi Jakarta dari ancaman rob dan kenaikan permukaan laut.
Baca juga: 13 Juta Ponsel Dibuang Setiap Hari, Krisis Konsumsi di Era Digital
“Sebagian dana dari pajak, sebagian dari pengelolaan sampah. Kami akan siapkan sebaik-baiknya. Ini model pembangunan yang berkelanjutan,” tandasnya.
Saat ini, Pemprov DKI Jakarta masih menunggu terbitnya peraturan presiden sebagai payung hukum untuk memulai pembangunan PLTSA. Namun arah kebijakan sudah jelas: Jakarta tidak ingin lagi menjadi kota yang kalah oleh sampah. Kini, limbah diubah menjadi listrik, dan masalah diubah menjadi solusi. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.