
JAKARTA, mulamula.id – Peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem ketatanegaraan kembali menjadi sorotan. Kali ini, keputusan MK dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029 dinilai menyalahi prinsip pembagian kekuasaan.
Menurut Peneliti Pusat Riset Politik BRIN, Devi Darmawan, keputusan MK tersebut menunjukkan gejala dominasi yudisial atas fungsi legislasi yang semestinya dijalankan DPR bersama pemerintah.
“Kesannya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya menguji, tetapi ikut membentuk norma hukum baru. Ini keluar dari prinsip division of power yang sehat,” ujar Devi dalam diskusi daring, Rabu (9/7/2025).
Devi menilai MK telah melangkah lebih jauh dari tugasnya yang seharusnya hanya menilai kesesuaian undang-undang dengan konstitusi. Penetapan langsung sistem pemilu oleh MK dinilai melangkahi kewenangan legislatif sebagai pembentuk undang-undang.
Tanda Ketidakpercayaan ke DPR?
Putusan ini juga dianggap sebagai refleksi dari ketidakpercayaan MK terhadap kinerja DPR. Dalam amar putusan, MK secara tegas menetapkan bahwa pemilu nasional hanya diperuntukkan bagi pemilihan presiden/wakil presiden, DPR, dan DPD. Sementara itu, pemilihan DPRD akan digabung dengan Pilkada, dua tahun setelah pelantikan presiden.
Baca juga: Putusan MK Pisahkan Pemilu, Pemerintah Kehilangan Ruang Formulasi
“MK menafsirkan sekaligus memilihkan. Ini bisa dibaca sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap parlemen dalam menindaklanjuti putusan sebelumnya,” tambah Devi.
DPR: MK Lompat Pagar
Pernyataan lebih keras datang dari anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin. Ia menilai MK telah mencampuri urusan pembentuk undang-undang, dengan menetapkan langsung model keserentakan pemilu.
Khozin mengingatkan bahwa MK sebelumnya sudah pernah mengeluarkan Putusan 55/PUU-XVII/2019, yang menawarkan enam opsi keserentakan kepada DPR dan pemerintah untuk ditindaklanjuti. Namun, menurutnya, belum adanya revisi atas UU Pemilu bukan alasan MK untuk mengambil alih keputusan tersebut.
“Kalau pembentuk UU belum menindaklanjuti, MK seharusnya menunggu, bukan mengambil alih,” ujar Khozin. Ia menyebut putusan terbaru MK sebagai bentuk “paradoks yuridis” karena membatasi pilihan sistem pemilu secara sepihak.
Menuju 2029, Demokrasi dan Batas Kewenangan
Putusan MK ini membawa implikasi besar bagi pemilu 2029, baik dari segi teknis maupun tata kelola sistem demokrasi. Pertanyaannya kini, Apakah keputusan MK ini memperkuat demokrasi atau justru mengaburkan batas antarkekuasaan negara?
Polemik ini mengingatkan pentingnya menjaga prinsip checks and balances dalam sistem demokrasi. Agar setiap lembaga negara tetap berjalan sesuai koridornya, tanpa saling menyalip kewenangan. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.