
SALINAN putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) sah digunakan sebagai alat bukti dalam perkara perdata. Pandangan ini bukan sekadar pendapat, melainkan kaidah hukum yang telah diperkuat dalam beberapa putusan Mahkamah Agung, dan kini menjadi pijakan penting dalam praktik pembuktian perdata di Indonesia.
Sistem Pembuktian, Perdata vs Pidana
Dalam sistem hukum Indonesia, pembuktian dalam perkara perdata dan pidana memiliki karakter berbeda. Perkara pidana menganut asas stelsel negatif, yang menggabungkan alat bukti dan keyakinan hakim. Sebaliknya, perkara perdata lebih menekankan pembuktian formil, tanpa menuntut keyakinan mutlak dari hakim terhadap kebenaran materiil suatu fakta.
Menurut Pakar Hukum Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, hakim tidak wajib mencapai keyakinan pribadi atas kebenaran dalam perkara perdata. Cukup dengan membuktikan keabsahan secara hukum dari bukti-bukti yang diajukan, seperti yang tertuang dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 Rbg: bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
Akta Autentik, Raja dari Segala Bukti Tertulis
Di antara semua alat bukti dalam perkara perdata, akta autentik memiliki kedudukan paling kuat. Akta ini disusun oleh pejabat berwenang dan dibuat sesuai hukum yang berlaku. Akta autentik dianggap mengikat, kecuali dibuktikan sebaliknya.
Baca juga: Putusan MA: Ekspor Pasir Laut Langgar Prinsip Keberlanjutan
Namun, bagaimana dengan salinan putusan pengadilan. Apakah termasuk akta autentik atau hanya akta di bawah tangan?

MA Tegaskan Nilai Pembuktian Salinan Putusan
Pertanyaan ini dijawab tuntas dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1793 K/Pdt/1993. Majelis hakim menyatakan, salinan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat digunakan sebagai alat bukti sah dalam perkara perdata.
Putusan penting lainnya, No. 1687 K/Pdt/1998, menambahkan bahwa salinan putusan dari pengadilan lain (dalam kasus ini, Pengadilan Tata Usaha Negara) dapat dinilai sebagai bukti sempurna. Bahkan, salinan tersebut memiliki kekuatan sebagai akta autentik.
Baca juga: ‘Air Cocaine’, Bagaimana Dua Pilot Prancis Lolos dari Jerat Hukum Internasional
Kaidah ini semakin diperkuat dalam Putusan MA No. 83 PK/N/2002, yang secara tegas menyatakan bahwa salinan putusan yang sudah inkracht memiliki kekuatan pembuktian yang tinggi dalam sengketa perdata.
Relevansi bagi Hakim dan Praktisi Hukum
Putusan-putusan ini menjadi landmark decision dalam hukum acara perdata Indonesia. Kejelasan ini penting, terutama dalam perkara yang mengandalkan salinan putusan sebelumnya sebagai bukti utama.
Bagi para hakim, kejelasan posisi hukum ini menjadi panduan penting dalam menyusun pertimbangan hukum. Bagi para praktisi, ini membuka ruang strategis untuk memanfaatkan salinan putusan sebagai bukti sah, asalkan telah berkekuatan hukum tetap. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.