
DALAM sistem hukum perdata Indonesia, posisi tergugat tak sekadar pasif menerima gugatan. Tergugat juga memiliki ruang untuk menyerang balik melalui gugatan rekonvensi. Namun, persoalannya, kapan sebenarnya gugatan balik ini sah diajukan?
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 239 K/Sip/1968, yang diperiksa oleh Prof. R. Subekti, S.H. bersama Sardjono, S.H. dan Bustanul Arifin, S.H., Mahkamah menyatakan bahwa duplik termasuk bagian dari proses jawab-menjawab. Dengan demikian, pengajuan rekonvensi oleh tergugat saat tahap duplik masih diperbolehkan secara hukum.
Kedudukan Para Pihak dan Hak Tergugat
Dalam setiap perkara perdata, struktur pihak berperkara sudah ditetapkan sejak gugatan didaftarkan di pengadilan (Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg). Selain tergugat utama, penggugat dapat menarik pihak lain sebagai turut tergugat, yang tidak dituduh melakukan kesalahan hukum, tetapi diperlukan agar patuh terhadap isi putusan.
Baca juga: Putusan MA: Pajak Bumi Bukan Bukti Kepemilikan Tanah
Setelah tergugat menerima panggilan sidang, ia berhak menyampaikan jawaban tertulis atas gugatan (Pasal 121 ayat 2 HIR/Pasal 145 ayat 2 RBg). Dalam proses ini, tergugat juga dapat mengajukan alat bukti sesuai ketentuan Pasal 163 HIR/Pasal 283 RBg, termasuk saksi, bukti tertulis, pengakuan, dan sumpah.
Namun lebih dari itu, tergugat juga memiliki hak hukum untuk mengajukan gugatan rekonvensi, sebagaimana diatur dalam Pasal 132a HIR/Pasal 167 ayat 1 RBg.
Rekonvensi Bukan Sekadar Balasan
Gugatan rekonvensi adalah upaya tergugat mengajukan gugatan balik terhadap penggugat. Tapi syaratnya tidak bisa diabaikan:
- Harus diajukan dalam sidang tingkat pertama;
- Dilayangkan di pengadilan yang sama;
- Tidak berlaku untuk perkara perlawanan terhadap eksekusi.
Yang menjadi krusial adalah kapan rekonvensi itu diajukan. Jika disampaikan setelah proses jawab-menjawab selesai, misalnya saat perkara naik ke tahap pembuktian atau banding, maka gugatan rekonvensi tidak sah menurut hukum (Pasal 132b HIR/Pasal 158 ayat 1 RBg).
Duplik sebagai Bagian dari Jawaban Dikuatkan Yurisprudensi
Putusan MA No. 239 K/Sip/1968 menjadi penegasan yuridis atas kekaburan praktik di lapangan. Mahkamah menyatakan bahwa duplik, meski bukan jawaban pertama, tetap merupakan bagian dari siklus jawab-menjawab. Oleh karena itu, rekonvensi yang diajukan pada tahap duplik masih dapat diterima secara hukum.
Baca juga: Jangan Buang Salinan Putusan, MA Tegaskan Bisa Jadi Bukti Sah
Namun, Putusan MA No. 642 K/Sip/1972 memberi batas tegas. Dalam perkara yang juga diperiksa oleh Prof. R. Subekti, Mahkamah menolak gugatan rekonvensi yang diajukan setelah berakhirnya tahap jawab-menjawab dan masuk ke pembuktian. Dalam putusan itu, rekonvensi dinyatakan tidak dapat diterima.
Yurisprudensi sebagai Pedoman Praktik Hukum
Kedua putusan Mahkamah Agung ini kini menjadi yurisprudensi tetap, dan tercatat dalam buku Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Seri Hukum Perdata dan Acara Perdata. Yurisprudensi ini telah menjadi pedoman penting dalam penanganan perkara perdata di seluruh Indonesia.
Baca juga: Barang Titipan Hilang, Siapa Bertanggung Jawab Menurut Hukum?
Intinya, rekonvensi dapat diajukan selama proses jawab-menjawab masih berlangsung, termasuk saat duplik. Tapi bila diajukan setelah tahap itu, seperti pada masa pembuktian, maka hakim harus menolaknya.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.