Bangunan Sejuk Tanpa AC, Emang Bisa?

Gedung ITB berarsitektur 1920 ini sejuk tanpa AC berkat ventilasi alami. Udara dingin masuk dari bawah, keluar lewat atas, menciptakan sirkulasi tanpa listrik. Foto: Dok. ITB.

DI BANYAK kota Indonesia, AC sudah seperti “teman setia” yang hidup siang-malam. Padahal, ada cara lain untuk tetap sejuk tanpa harus menyalakan mesin pendingin dan membakar listrik.

Di tengah udara Bandung yang sejuk, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi melempar pertanyaan yang membuat ruangan hening sejenak. “Kota Bandung itu dingin, kenapa pakai AC?”

Pertanyaan itu bukan hanya sindiran. Dedi menyoroti kebiasaan merancang gedung yang justru mengabaikan iklim setempat. Di daerah sejuk, bangunan dibuat tertutup rapat sehingga butuh pendingin buatan. Sebaliknya, di daerah panas, bangunan cenderung rendah dan minim ventilasi alami.

Pelajaran dari Gedung Tahun 1920

Rektor ITB, Profesor Tatacipta Dirgantara, memberi contoh nyata. Ia menunjuk gedung di kampusnya yang tetap nyaman tanpa Air Conditioning (AC). Rahasianya? Ventilasi alami.

Baca juga: Arsitektur Vernacular Indonesia, Warisan Lokal untuk Iklim Tropis

“Lubang angin di bawah, lalu ada lagi di atas. Udara dingin mengalir dari bawah, keluar dari atas. Tahun 1920, konsep ini sudah ada,” jelasnya. Prinsip fisika sederhana ini menciptakan sirkulasi alami tanpa mengandalkan listrik.

Teknologi Lama, Potensi Besar

Tatacipta menambahkan, banyak bangunan modern justru menutup diri dari udara luar. Semua bergantung pada AC, padahal ada teknologi sederhana seperti earth cooling.

Rektor ITB, Profesor Tatacipta Dirgantara (kiri), dan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (kanan), berdiskusi soal desain bangunan hemat energi di Bandung. Foto: Youtube/ Lembur Pakuan Channel.

Teknologi ini bekerja dengan mengalirkan udara panas melalui pipa di bawah tanah. Udara itu didinginkan secara alami sebelum masuk ke ruangan dan keluar lewat lubang di bagian atas. Tidak rumit, hemat energi, dan ramah lingkungan.

“Teknologinya sudah ada, tinggal dicontohkan dan dikampanyekan,” ujarnya.

Baca juga: Gila, Pengusaha Ini Beli Hutan Supaya Tidak Ditebang

Bukan Hanya Soal Gedung

Diskusi itu berujung pada tantangan dari Dedi. Ia meminta ITB tidak hanya mempraktikkan konsep hemat energi di kampus, tetapi juga mengubah kelurahan sekitar menjadi kawasan ramah lingkungan.

Baca juga: Intiland Tower, Pionir Green Building di Indonesia

Bagi generasi muda, isu ini bukan sekadar teknis arsitektur. Ini soal gaya hidup dan masa depan kota. Bangunan hemat energi berarti tagihan listrik lebih rendah, udara kota lebih bersih, dan langkah kecil melawan perubahan iklim.

Dengan memadukan kearifan arsitektur lama dan inovasi modern, kota-kota di Indonesia bisa tetap sejuk tanpa harus menyalakan AC sepanjang hari. Pertanyaannya, apakah kita siap mengubah cara membangun demi masa depan yang lebih adem?

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *