Somasi Tidak Wajib Akta Autentik, Ini Penjelasan MA

Ilustrasi penandatanganan perjanjian, menandai kesepakatan hukum antara dua pihak. Foto: Pixabay/ Pexels.

PERJANJIAN adalah salah satu bentuk implementasi hukum dalam interaksi sosial. Lewat perjanjian, dua pihak sepakat melakukan sesuatu, memberikan sesuatu, atau menahan diri dari suatu tindakan. Praktiknya sering menimbulkan pertanyaan, terutama soal somasi atau teguran sebelum gugatan wanprestasi.

Perjanjian termasuk dalam kategori perikatan. Pasal 1234 KUHPerdata menegaskan perikatan bisa lahir dari kesepakatan atau undang-undang. Prinsipnya, setiap subjek hukum yang menandatangani perjanjian terikat untuk kepentingannya sendiri, sesuai Pasal 1315 KUHPerdata.

Dalam beberapa kasus, pihak ketiga bisa melaksanakan prestasi untuk kepentingan pihak yang berjanji. Jika pihak ketiga gagal, tanggung jawab ganti rugi tetap jatuh pada pihak yang berjanji, berdasarkan Pasal 1316 KUHPerdata.

Baca juga: Kapan Waktu Tepat Ajukan Gugatan Rekonvensi? Simak Putusan MA

Hukum mengatur bahwa perjanjian berlaku seperti undang-undang bagi para pihak. Pembatalan perjanjian hanya bisa dilakukan atas kesepakatan bersama (Pasal 1338 KUHPerdata). Prinsip keadilan dan kebiasaan masyarakat menjadi pedoman pelaksanaan perjanjian (Pasal 1339 KUHPerdata), sementara syarat sah perjanjian diatur Pasal 1320 KUHPerdata.

Somasi, Teguran, dan Wanprestasi

Ketika terjadi wanprestasi, pihak yang ingkar janji wajib mengganti biaya, kerugian, dan bunga akibat perjanjian tidak terpenuhi (Pasal 1243 KUHPerdata). Evaluasi terhadap pihak lalai biasanya dilakukan melalui surat perintah atau akta sejenis, dikenal sebagai surat teguran atau somasi.

Salaman sebagai simbol kesepakatan dan kerja sama dalam pertemuan bisnis. Foto: Ilustrasi/ Yan Krukau/ Pexels.

Pertanyaannya, apakah somasi harus berupa akta autentik atau cukup akta di bawah tangan? Dan apakah wajib diberikan sebelum gugatan wanprestasi diajukan?

Baca juga: Putusan MA: Pajak Bumi Bukan Bukti Kepemilikan Tanah

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 852 K/Sip/1972 menegaskan, permintaan untuk memenuhi perjanjian tidak harus diawali surat teguran oleh juru sita. Sementara Putusan MA Nomor 117 K/Sip/1956 menjelaskan, surat gugatan yang telah diberitahukan kepada tergugat dapat dianggap sebagai teguran.

Kesimpulan Praktis

  1. Somasi atau teguran tidak wajib berbentuk akta autentik.
  2. Tidak diajukannya somasi sebelum gugatan tidak membatalkan gugatan.
  3. Gugatan yang disampaikan kepada tergugat sudah dianggap sebagai teguran.

Yurisprudensi ini penting bagi hakim, praktisi hukum, dan masyarakat. Selain mempermudah proses penegakan perjanjian, putusan ini menambah wawasan hukum bagi publik luas. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *