
Oleh: Hamdani S Rukiah, S.H, M.H. *
GELOMBANG digitalisasi yang melanda berbagai sektor kini juga mengetuk pintu dunia hukum. Legal analytics, perangkat lunak berbasis kecerdasan buatan (AI) yang mampu menganalisis putusan pengadilan, kontrak, hingga probabilitas perkara, hadir membawa janji efisiensi. Dengan sekali klik, advokat bisa mendapatkan ringkasan yurisprudensi, prediksi arah putusan, bahkan rekomendasi strategi hukum.
Bagi sebagian kalangan, teknologi ini adalah penyelamat. Di tengah beban administrasi dan kompleksitas perkara, legal analytics mempercepat kerja, mengurangi biaya riset, dan membantu klien mendapat gambaran lebih jelas. Namun bagi yang lain, kehadirannya menimbulkan pertanyaan eksistensial, apakah profesi hukum perlahan akan digantikan oleh mesin?
Antara Efisiensi dan Reduksi Profesi
Tak bisa dipungkiri, sebagian pekerjaan rutin advokat menyusun legal research, membuat telaah kontrak standar, atau menyiapkan due diligence, perlahan dapat diambil alih mesin. Risiko yang muncul adalah reduksi profesi hukum hanya menjadi “operator teknologi”.
Namun, hukum tidak pernah semata-mata soal data dan algoritma. Setiap perkara membawa aspek kemanusiaan berupa emosi, konteks sosial, politik, bahkan nilai keadilan yang tak terukur angka. Disinilah letak diferensiasi yang masih dimiliki manusia. Legal analytics hanya bisa menunjukkan pola, tapi tidak mampu berempati kepada klien yang hidupnya berubah karena putusan pengadilan.
Baca juga: Legal Analytics, Cara Baru Dunia Hukum Membaca Data dan Membuat Keputusan
Sebagai pemerhati yang menuju praktisi, saya melihat tantangannya bukan pada hilangnya profesi hukum, melainkan pada kebutuhan untuk melakukan reskilling. Advokat masa depan harus mampu membaca data hukum sama baiknya dengan membaca teks undang-undang. Keahlian menganalisis algoritma, memahami bias data, hingga menilai validitas prediksi menjadi modal baru dalam ruang sidang.

Perlu Regulasi dan Etika
Pertanyaan lain yang tak kalah penting, sejauh mana kita mempercayakan keadilan pada algoritma? Tanpa kerangka regulasi yang jelas, legal analytics bisa menimbulkan bias dan diskriminasi. Data hukum kita tidak steril dari masalah. Mulai putusan yang tidak konsisten, yurisprudensi yang kadang kontradiktif, hingga praktik hukum yang masih terpengaruh faktor non-yuridis.
Baca juga: AI Melaju, Hukum Masih Tertinggal: Jangan Ulangi Tragedi Robot Trading
Oleh karena itu, Indonesia perlu memikirkan ethical guideline penggunaan legal analytics. Advokat tetap harus menjadi pengendali, bukan sekadar konsumen teknologi. Prinsip human in the loop, di mana keputusan akhir tetap berada pada manusia, wajib dijaga.
Sahabat, Bukan Ancaman
Maka, bagi dunia kepengacaraan, legal analytics seharusnya tidak dilihat sebagai musuh. Legal analytics adalah sahabat baru yang memperkuat profesi, asalkan digunakan dengan bijak. Justru dengan memanfaatkannya, advokat dapat lebih fokus pada aspek strategis seperti membangun argumen, memperjuangkan keadilan substantif, dan melindungi hak-hak masyarakat.
Teknologi selalu hadir dengan dua wajah, peluang dan ancaman. Pilihan ada di tangan kita, para profesional hukum. Apakah kita bersedia beradaptasi dan memimpin perubahan, atau hanya menjadi penonton yang ditinggalkan oleh zaman?
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.
Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDIA