Keuangan Hijau Qatar Melaju, Indonesia di Persimpangan

Pemandangan malam gedung-gedung pencakar langit di Doha, Qatar. Kota ini menjadi simbol dorongan baru kawasan Teluk dalam memperluas instrumen keuangan hijau, termasuk penerbitan obligasi hijau perdana. Foto: Bilal Findikci/ Pexels.

QATAR mencetak tonggak baru dalam keuangan hijau. Negara yang selama ini dikenal sebagai raksasa energi fosil itu menerbitkan obligasi hijau berdaulat senilai 2,5 miliar dolar AS. Langkah ini tidak hanya mencatat rekor pasar, tetapi juga menegaskan ambisi Qatar untuk menjadi pemain utama dalam pembiayaan berkelanjutan.

Penerbitan dilakukan dalam dua tenor. 1 Miliar dolar untuk lima tahun dan 1,5 miliar dolar untuk sepuluh tahun. Hasilnya mencatat spread terendah terhadap US Treasury di kawasan Timur Tengah, Eropa Tengah dan Timur, serta Afrika. Respons investor pun luar biasa. Permintaan melonjak lebih dari 14 miliar dolar atau 5,6 kali lipat dari jumlah yang ditawarkan.

Tak lama kemudian, sebagaimana laporan ESG News, transaksi ini dianugerahi “Deal of the Year” pada Global Banking and Markets: Middle East Awards 2025.

Transparansi sebagai pembeda

Qatar tidak berhenti di penerbitan obligasi. Pemerintah memperbarui sovereign green assets register, daftar proyek ramah lingkungan yang dibiayai melalui instrumen hijau. Laporan alokasi perdana juga sudah dirilis. Dengan begitu, setiap dolar hijau bisa dilacak penggunaannya, sekaligus memperkuat kepercayaan investor global.

Baca juga: Investasi Hijau Indonesia Tembus Rp 305 Triliun

Pendekatan ini menegaskan bahwa keuangan hijau bukan sekadar janji, melainkan instrumen yang diikat dengan transparansi dan akuntabilitas. Inilah yang membuat Qatar tampil sebagai pionir baru di kawasan.

Ekspansi ke arah ketahanan iklim

Selain dari sisi finansial, Qatar memperkuat National Adaptation Plan (NAP) untuk melindungi masyarakat, ekonomi, dan wilayah pesisir dari dampak perubahan iklim. Rencana ini sejalan dengan Qatar National Vision 2030, yang menempatkan keberlanjutan sebagai pilar pembangunan jangka panjang.

Kawasan bisnis di Doha, Qatar, yang kini menjadi sorotan dunia setelah pemerintahnya menerbitkan obligasi hijau perdana senilai US$2,5 miliar sebagai bagian dari strategi transisi menuju pembangunan berkelanjutan. Foto: Ramaz Bluashvili/ Pexels.

Bank Sentral Qatar juga meluncurkan kerangka pembiayaan berkelanjutan. Regulasi ini memberi panduan penerbitan instrumen hijau dan sustainability-linked finance, dengan tujuan memperluas pasar sekaligus memperkokoh daya tarik investasi.

Posisi Indonesia

Indonesia sendiri sudah lebih dulu meluncurkan Green Sukuk sejak 2018. Instrumen ini bahkan diakui sebagai salah satu pionir di Asia Tenggara. Namun, tantangannya kini adalah memperkuat transparansi penggunaan dana dan memastikan keterpaduan dengan agenda transisi menuju ekonomi rendah karbon.

Baca juga: Ekonomi Hijau, Jalan Indonesia Menuju Visi Emas 2045

Pengalaman Qatar memberi pelajaran penting. Menjadi pelopor tidak cukup hanya dengan menerbitkan instrumen hijau. Kunci keberhasilan ada pada kombinasi antara inovasi finansial, keterbukaan data, dan konsistensi kebijakan lintas sektor.

Menyusul dengan strategi baru

Jika Indonesia ingin mempertahankan posisi sebagai salah satu pemimpin keuangan hijau di kawasan, langkah berikutnya harus lebih progresif. Laporan alokasi yang rinci, daftar aset hijau yang diperbarui, serta keterpaduan dengan strategi adaptasi iklim akan menjadi pembeda di mata pasar global.

Baca juga: Pajak Karbon Indonesia, Kebijakan Besar yang Terus Tertunda

Qatar telah membuktikan bahwa bahkan negara berbasis energi fosil bisa tampil sebagai pionir. Kini, giliran Indonesia menjawab tantangan. Menyusul dengan standar yang lebih tinggi, atau membiarkan peluang besar di keuangan hijau lepas begitu saja. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *