
JAKARTA, mulamula.id – Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, resmi mendapatkan pembebasan bersyarat setelah menjalani masa hukuman kasus korupsi e-KTP di Lapas Sukamiskin. Keputusan ini memicu beragam respons dari lembaga antikorupsi.
KPK: Kasus Korupsi Jadi Pengingat Generasi Muda
Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menegaskan bahwa kasus ini tetap menjadi pengingat bagi seluruh masyarakat.
“Kejahatan korupsi ini serius, dampaknya langsung terasa hampir di seluruh lapisan masyarakat. Nilai kerugian negara besar dan kualitas pelayanan publik ikut terdampak,” ujarnya, Senin (18/8/2025).
Baca juga: Setya Novanto Bebas Bersyarat, Hukuman e-KTP Dipangkas MA
Budi menekankan pentingnya upaya pencegahan, pendidikan, dan penindakan korupsi secara terpadu. Ia menyinggung semangat HUT RI ke-80: “Butuh persatuan seluruh elemen masyarakat untuk melawan korupsi, demi mewujudkan cita-cita bangsa.”
ICW: Langkah Mundur dari Pemberantasan Korupsi
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pembebasan bersyarat Novanto sebagai langkah mundur dalam pemberantasan korupsi. Peneliti ICW, Wana Alamsyah, menyebut kasus e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun menjadi preseden buruk karena aparat hukum gagal menelusuri aliran uang melalui pasal pencucian uang.
Baca juga: Pelaku Sudah Divonis, Lalu Bagaimana dengan Harta Hasil Kejahatan?
“Penanganan dugaan TPPU oleh Bareskrim Polri mangkrak. Bahkan KPK yang seharusnya melakukan supervisi gagal mengakselerasi kasus ini,” ujar Wana. Menurutnya, pengurangan pidana dan hak politik Novanto menunjukkan pemerintah belum serius memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.
Dasar Pembebasan Bersyarat Novanto
Dari sisi administrasi, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Rika Aprianti, menjelaskan Novanto memenuhi syarat pembebasan bersyarat setelah menjalani dua pertiga masa hukuman. Usulan disetujui Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) pada 10 Agustus 2025, bersama 1.000 warga binaan lainnya.
Novanto juga telah membayar denda dan uang pengganti sebesar Rp 43,7 miliar, dengan sisa Rp 5,3 miliar yang menjadi subsider.
Kasus korupsi e-KTP menjerat Novanto sejak 2018. Ia divonis 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, serta kewajiban membayar uang pengganti USD 7,3 juta. Pada Juni 2025, Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali (PK), memotong hukuman menjadi 12,5 tahun dan mengurangi pencabutan hak politik dari 5 menjadi 2,5 tahun.
Kasus ini menjadi sorotan serius karena menyentuh integritas publik dan efektivitas penegakan hukum di Indonesia. Pemberian pembebasan bersyarat kepada Novanto memunculkan debat antara keadilan hukum, pemulihan hak, dan urgensi efek jera dalam pemberantasan korupsi. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.