Darurat Ekologi, Satwa Liar Terjepit di Tengah Sawit dan Tambang

Monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) bersama anaknya. Satwa endemik ini terancam kehilangan habitat akibat ekspansi tambang dan perkebunan di Sulawesi. Foto: Robert Stokoe/ Pexels.

DI BALIK lanskap indah Sumatera dan Sulawesi, ada cerita getir tentang krisis keanekaragaman hayati. Konflik manusia dengan satwa liar meningkat. Hutan yang dulu rimbun kini berganti dengan perkebunan monokultur. Data terbaru dari laporan Status Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia yang dirilis Bappenas pada 19 Agustus 2025 menegaskan kondisi ini bukan sekadar alarm, tetapi darurat ekologis.

Deputi Bidang Pangan, SDA, dan Lingkungan Hidup Bappenas, Leonardo A.A.T. Sambodo, menyebut, “Kalau melihat peta Sumatera tahun 1990, warnanya masih semarak dengan hutan. Namun, di 2021 sudah didominasi oleh perkebunan.” Ucapan itu menggambarkan transformasi besar yang menyusutkan ruang hidup satwa liar.

Sumatera, Fragmentasi Habitat dan Ancaman Zoonosis

Di Sumatera, ada tujuh ancaman besar yang kini membayangi ekosistem. Fragmentasi habitat akibat alih fungsi lahan jadi masalah utama. Hutan yang terbelah membuat satwa liar kehilangan ruang jelajah. Harimau, gajah, dan orangutan semakin sering berkonflik dengan manusia karena habitatnya terus menyempit.

Baca juga: Kontroversi Rencana Wisata di ‘Pulau Komodo’, Investasi atau Invasi?

Kebakaran hutan menambah tekanan, sementara perburuan satwa liar dan penangkapan ikan berlebih memperparah situasi. Ancaman lain datang dari perubahan iklim yang mengganggu siklus hidup satwa dan memicu pengasaman laut. Jenis asing invasif dan maraknya alga berbahaya juga mengancam ekosistem pesisir.

Lebih jauh lagi, ancaman biologis seperti penyakit zoonosis menjadi perhatian, karena interaksi manusia dan satwa semakin intens di ruang terbatas.

Sulawesi, Tekanan Tambang dan Perdagangan Satwa

Di Sulawesi, masalahnya berbeda namun tak kalah serius. Pulau ini kaya satwa endemik karena letaknya di garis Wallace. Namun justru kekayaan itu membuatnya rentan. Ada sepuluh ancaman yang dicatat laporan Bappenas.

Aktivitas pertambangan di kawasan hutan Sulawesi. Tekanan industri ekstraktif mempersempit ruang hidup satwa liar dan meningkatkan risiko kerusakan ekosistem. Foto: Ilustrasi/ ArtHouse Studio/ Pexels

Perburuan satwa untuk konsumsi masih terjadi, termasuk rusa, dugong, hingga paus. Perdagangan ilegal penyu, kura-kura, burung beo, dan trenggiling marak di pasar gelap. Di sisi lain, tambang dan perkebunan monokultur menekan hutan. Penangkapan ikan berlebihan, bencana alam, hingga sampah laut ikut memperburuk kondisi.

Baca juga: Primata Indonesia Terancam Punah, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

“Dalam beberapa tahun terakhir, banyak ancaman di Sulawesi yang berkaitan dengan pertambangan,” jelas Leonardo. Aktivitas ekstraktif ini membuka ruang interaksi baru manusia-satwa, sekaligus meningkatkan potensi zoonosis.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Kondisi ini memberi pesan penting bagi pengambil kebijakan. Perlindungan biodiversitas tidak bisa hanya jadi jargon konservasi. Ini harus masuk dalam perencanaan pembangunan. Perubahan tata guna lahan perlu dikendalikan dengan zonasi yang jelas. Perburuan dan perdagangan satwa ilegal harus diberantas dengan penegakan hukum yang konsisten.

Harimau Sumatera, salah satu satwa kunci yang terancam punah akibat fragmentasi habitat dan konflik dengan manusia. Foto: Sayantan Kundu/ Pexels.

Bagi dunia usaha, terutama perkebunan dan pertambangan, praktik berkelanjutan bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Sementara bagi masyarakat sipil, partisipasi dalam menjaga ekosistem lokal akan menentukan keberhasilan upaya konservasi.

Baca juga: Pulau Lindung di Teluk Balikpapan, Harapan Baru untuk Orangutan

Sumatera dan Sulawesi adalah dua wajah penting Indonesia dalam peta biodiversitas dunia. Jika ancaman terus diabaikan, bukan hanya satwa yang punah, tetapi juga ketahanan ekologis bangsa yang tergerus. Laporan Bappenas ini seharusnya jadi momentum, menjaga alam berarti menjaga masa depan. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *